Mantan Kapuspenkum Kejagung Gugat UU TPPU
Utama

Mantan Kapuspenkum Kejagung Gugat UU TPPU

Majelis meminta pemohon menguraikan kerugian konstitusional dan mempelajari putusan MK No. 77/PUU-XII/2014.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, mantan Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) RJ Soehandoyo akhirnya melayangkan gugatan pengujian UU No. 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lewat kuasa hukumnya, Soehandoyo memohon pengujian Pasal 69 UU TPPU mengenai tidak wajib membuktikan tindak pidana asalnya (predicate crime).

“Pemohon selaku Komisaris PT Panca Lomba Makmur yang menjadi tersangka dalam perkara dugaan TPPU merasa dirugikan dengan Pasal 69 UU TPPU,” ujar salah satu kuasa hukum pemohon, Erlina dalam sidang pendahuluan yang dipimpin Suhartoyo di ruang sidang MK, Selasa (18/8).

Pasal 69 UU TPPU menyebutkan “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib  dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”.

Erlina menjelaskan pemohon adalah komisaris PT Panca Logam Makmur. Direktur dan manajer keuangan perusahaan ini diduga telah melakukan penggelapan dalam jabatan. Keduanya telah dijatuhi hukuman pidana penjara selama 3 tahun berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Bau Bau-Bau No.  363/Pid.B/2014/PN.Bau tertanggal 6 Mei 2015.

Awalnya, tutur Erlina, pemohon mengundang para pemegang saham mengadakan rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk memilih direksi baru karena masalah tersebut. Tetapi, tidak dapat terlaksana karena ada salah satu pemegang saham mayoritas tidak hadir. Tanpa sepengetahuan pemohon, pemegang saham yang lain telah melakukan RUPS dan telah menetapkan pergantian pengurus perusahaan.

Atas kejadian ini pemohon selaku komisaris dan pengurus sementara demi menyelamatkan asset perusahaan, memindahbukukan dana perusahaan yang telah digelapkan direktur dan manajer keuangan terdahulu dari rekening manajer keuangan ke rekening PT Panca Logam Makmur.

Namun, tindakan Pemohon memindahbukukan dana tersebut justru menjadi dasar penetapan tersangka dirinya berdasarkan laporan polisi bernomor: LP/386/VI/2014/SPKT Polda Sutra tertanggal 18 Juni 2014 tentang TPPU yang diajukan Falahwi Mudjur Saleh W alias Seli. Selanjutnya, Penyidik Polda Sulawesi Tenggara dalam menetapkan Pemohon menjadi tersangka ini menggunakan dasar hukum Pasal 69 UU TPPU.

Padahal, merujuk putusan PN Bau-Bau dalam perkara yang sama dalam pertimbangannya pada halaman 58 menyebutkan yang berhak membuka blokir rekening manajer keuangan yang telah berstatus sebagai terpidana tersebut, adalah Komisaris PT Panca Logam Makmur. Menurutnya, perkara TPPU dan predicate crime masing-masing berdiri sendiri.

Predicate crime telah diputus oleh PN Bau-Bau, sehingga tidak ada bukti yang bisa menjerat pemohon dalam TPPU. Ini persoalan hukum baru yang menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadan bagi pemohon,” dalihnya.

Karena itu, Erlina menganggap Penyidik tidak dapat menetapkan Pemohon menjadi tersangka TPPU. Sebab, perkara ini awalnya bukanlah TPPU, tetapi tindak pidana perbankan dan yang menjadi tersangka pun bukan pemohon. Karena itu, pemohon minta agar Pasal 69 UU TPPU dihapus karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)  UUD 1945.

“Menyatakan Pasal 69 UU TPPU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai  kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petitum permohonannya.

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Suhartoyo menilai sistematika permohonan sudah cukup baik. Hanya saja, materi permohonan lebih banyak menguraikan kerugian kasus konkrit yang dialami pemohon. Ia menyarankan kepada pemohon agar permohonan perkuat. “Ini agar kerugian konstitusional lebih dipertajam dan diperjelas,” kata Suhartoyo.

Anggota Majelis, Aswanto meminta agar permohonan dielaborasi dengan putusan MKNo. 77/PUU-XII/2014yang pernah menolak pengujian pasal yang sama. Soalnya, sesuai Pasal 60 UU MK menyebut materi muatan pasal atau yang sudah diuji tidak bisa diajukan kembali, kecuali dengan alasan konstitusional dan pasal batu uji yang berbeda.

“Putusan MK itu harus dipelajari dulu, takutnya permohonan ininebis in idem. Soalnya, kalau melihat pasal batu uji sama dengan permohonan sebelumnya yakni Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). Kalau merujuk Pasal 60 UU MK nebis in idem. Jadi, kalau melihat pasal batu ujinya harus diubah,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait