MK Tolak Permohonan Akil Mochtar
Berita

MK Tolak Permohonan Akil Mochtar

Dua hakim konstitusi menyatakan permohonan tentang keharusan adanya putusan tindak pidana asal sebelum memproses TPPU dikabulkan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ekspresi Kuasa Hukum Pemohon, Adardam Achyar terhadap putusan uji materi UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Kamis (12/2). Foto: Humas MK
Ekspresi Kuasa Hukum Pemohon, Adardam Achyar terhadap putusan uji materi UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Kamis (12/2). Foto: Humas MK
Pupus sudah harapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar untuk lolos dari jerat tindak pidana pencucian uang setelah MK menolak konstitusionalitas sejumlah pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Dalam putusannya, MK menyimpulkan semua dalil permohonan Akil tidak beralasan menurut hukum.

“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 77/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Kamis (12/2).

Akil Mochtar mengajukan permohonan pengujian sembilan pasal UU TPPU. Ia menggugat konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95. Fokus pengujian ini menyangkut polemik tentang tidak wajibnya pembuktian tindak pidana asal (korupsi/teroris) dalam TPPU yang menyertainya karena ada frasa “patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU.

Akil juga mempersoalkan legalitas kewenangan jaksa KPK menyidik dan menuntut TPPU. Ia meminta MK membatalkan dan meminta tafsir pasal-pasal itu. Penerapan pasal-pasal itu dinilai multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pemohon terutama ketika harta kekayaan yang secara nyata tidak berkaitan dengan korupsi disita dan putusannnya dirampas untuk negara.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan frasa “patut diduga”, “patut diduganya” atau “patut menyangka” sedari dulu sudah termuat dalam Pasal 283, Pasal 288, Pasal 292, Pasal 480 KUHP dan diterapkan pengadilan. Hal itu tidak pernah menimbulkan persoalan dalam penegakan hukum terkait hak-hak warga negara.

Karenanya, frasa “patut diduga” atau “patut diduganya” yang termuat dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU, khusus mengenai tindak pidana pencucian uang merupakan kewenangan pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA).

Pasal 69 UU TPPU yang menyebut tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, menurut Mahkamah apabila pelaku tindak pidana asal meninggal dunia berarti perkaranya gugur yang berakibat si penerima pencucian uang tidak dapat dituntut. “Adalah ketidakadilan seseorang yang sudah nyata menerima keuntungan dari TPPU tidak diproses pidana,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Mahkamah memandang TPPU memang tidak berdiri sendiri, tetapi harus ada kaitannya dengan tindak pidana asal. Bagaimana mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Apabila tindak pidana asalnya tidak bisa dibuktikan terlebih dahulu, maka tidak menjadi halangan untuk mengadili tindak pidana pencucian uang.

“Pasal 76 ayat (1), menurut Mahkamah penuntut umum merupakan satu kesatuan, apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau di KPK adalah sama,” lanjutnya.

Terkait Pasal 77 UU TPPU mengenai pembalikan beban pembuktian –sering disebut pembuktian terbalik-- oleh pihak terdakwa, menurut Mahkamah, apabila terdakwa beriktikad baik demi kepastian hukum tidaklah sulit baginya untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana. Sebaliknya, penuntut umum akan kesulitan membuktikannya, padahal aroma tindak pidananya sangat terasa.

“Pasal 95 UU TPPU menurut pemohon bukan kewenangan KPK menyidik dan menuntut TPPU, menurut Mahkamah kasus konkrit instansi mana yang berwenang bukanlah objek yang dapat dimohonkan pengujian,” tutur Suhartoyo.

Pendapat berbeda
Meski MK menolak, dua orang hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yakni Aswanto dan Maria Farida Indrati. Keduanya, berpandangan membuktikan TPPU seperti dimaksud Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU selalu dengan adanya tindak pidana asal yang hasilnya dijadikan objek TPPU. Frasa patut diduga dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU selain sulit diukur, juga membebankan warga negara agar patut diduganya, suatu harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana. 

“Yang bersangkutan bisa saja tidak tahu adanya tindak pidana tersebut atau belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Hal tersebut bertentangan dengan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum,” tutur Aswanto.

Menurutnya, apabila seseorang didakwa dengan TPPU tidak didasari telah terjadi dan terbuktinya tindak pidana asal (predicate crimes atau predicate offence) adalah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang termuat dalam Penjelasan Umum KUHAP dan Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

“Dengan demikian, seharusnya permohonan pemohon yang berkaitan dengan keharusan adanya putusan tindak pidana asal sebelum memproses TPPU dikabulkan,” kata Aswanto.

Usai persidangan, pengacara pemohon, Adardam Achyarenggan mengomentari putusan MK ini. Soalnya, putusan MK ini sudah final dan mengikat yang tidak bisa diajukan upaya hukum. “Itulah putusannya, saya tidak bisa mengomentari. Yang pasti putusan ini akan segera kita sampaikan ke Pak Akil,” kata Adardam.
Tags:

Berita Terkait