Didukung Yurisprudensi, Tindak Pidana Asal Tak Perlu Dibuktikan
Berita

Didukung Yurisprudensi, Tindak Pidana Asal Tak Perlu Dibuktikan

Penggabungan dakwaan tindak pidana korupsi dan TPPU juga kehendak pembentuk UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Yunus Husein. Foto: Sgp
Yunus Husein. Foto: Sgp
Mantan Kepala PPATK Yunus Husein menegaskan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) sudah jelas bahwa pemeriksaan perkara TPPU tidak wajib membuktikan terlebih dahulu tidak pidana asalnya. Terlebih, sudah ada ratusan yurisprudensi menunjukkan untuk memeriksa perkara TPPU tidak wajib dibuktikan tindak pidana asal.

“Menurut laporan PPATK hingga September 2014, sudah ada 116 putusan pengadilan tentang TPPU yang sebagian besar sudah berkekuatan hukum tetap menunjukkan untuk memeriksa perkara TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal,” ujar Yunus saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU TPPU di ruang sidang MK, Kamis (16/10).

Yunus melanjutkan sudah ada tiga jilid buku anotasi perkara TPPU yang diterbitkan PPATK. Misalnya, dalam perkara atas nama terpidana 5 tahun penjara, Ie Mien Sumardi yang didakwa melakukan TPPU dengan melakukan penukaran hasil tindak pidana dengan valuta asing. Selain itu, Presiden Direktur Bank Global Irawan Salim yang menggelapkan uang Bank Global sebesar Rp60 miliar, lalu menyuruh Ie Mien Sugandi menukarkan Rp20 miliar dengan valuta asing.

“Ini salah satu bukti, pemeriksaan TPPU tidak wajib atau tidak perlu terlebih dahulu membuktikan tindak pidana asalnya (penggelapan),” ujar ahli yang sengaja dihadirkan pemerintah ini.

Menurutnya, norma tersebut sudah lazim diterapkan di negara-negara yang menganut sistem common law dan civil law, seperti di Amerika Serikat dan Belanda. Dia mengutip pandangan Hakim Agung Belanda, Mr. Buruma saat acara diskusi di Bangkok dengan hakim agung Indonesia pada 9 April 2013. Buruma berpendapat untuk memeriksa perkara TPPU tidak perlu dibuktikan terlebihh dahulu tindak pidana asalnya.

“Begitupun pandangan hakim dari Amerika Serikat Mrs. Virginia di forum yang sama. Dalam kesempatan lain, advokaat Generaal Belanda Mr. Nico Kijler (penasihat MA) menyatakan pandangan serupa,” ungkapnya.       

Terkait kewenangan KPK, dia menilai jaksa KPK tetap berwenang menyidik dan menuntut TPPU bersama-sama dengan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur Pasal 75 UU TPPU jo Pasal 141 KUHAP dimana penyidik (KPK) dapat menggabungkan tindak pidana asal (korupsi) dan TPPU dalam satu dakwaan. “Bukankah perkara korupsi dan TPPU yang diperiksa sangat berkaitan erat?”

“Pasal 68 UU TPPU dengan jelas menyebut hukum acara yang berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sementara mantan Hakim Agung Prof Komariah Emong Sapardjaja berpandangan sama. Menurutnya, MA telah menerapkan frasa “patut diduga” ini sebagai unsur TPPU dalam berbagai putusannya dan telah menjadi yurispridensi tetap. Dengan demikian, tidak perlu ada keraguan bahwa frasa diketahui atau patut diduga sesuatu yang sangat sukar diterapkan atau memberikan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.

“Jadi ketika seseorang menerima suap, gratifikasi, kemudian menyamarkan atau menyembunyikan asal usul harta yang diperoleh dari tindak pidana tersebut seharusnya diketahui perbuatan itu sangat tercela dan dilarang hukum pidana, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan tindak pidana asalnya,” ujar Komariah.

Menurutnya, anggapan jaksa KPK tidak berwenang menyidik dan menuntut perkara TPPU merupakan pandangan yang sangat keliru. Sebab, seseorang tidak dapat dituntut secara berturut-turut karena melakukan tindak pidana yang satu sama lain berhubungan. Lagipula, Pasal 141 KUHAP memperkenankan jaksa untuk menggabungkan perkara dalam satu dakwaan.

Selain itu, penggabungan dakwaan tindak pidana korupsi dan TPPU juga kehendak pembentuk UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. “Ini sejalan dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, sehingga selayaknya permohonan ditolak,” harapnya.               

Melalui kuasa hukumnya, Akil Mochtar mengajukan permohonan pengujian sembilan pasal UU TPPU, yakni Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95. Fokus pengujian ini menyangkut polemik tentang tidak wajibnya pembuktian tindak pidana asal (korupsi/teroris) dalam TPPU yang menyertainya karena adanya frasa “patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU TPPU.

Selain itu, pemohon mempersoalkan legalitas kewenangan jaksa KPK dalam menyidik dan menuntut TPPU. Karenanya, Akil meminta MK membatalkan dan meminta tafsir pasal-pasal itu. Penerapan pasal-pasal itu dinilai multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi pemohon terutama ketika harta kekayaan yang secara nyata tidak berkaitan dengan korupsi disita dan putusannnya dirampas untuk negara.
Tags:

Berita Terkait