Menaker Anggap Istilah Hukum ‘Penempatan’ Kurang Pas
Berita

Menaker Anggap Istilah Hukum ‘Penempatan’ Kurang Pas

Pemerintah dan DPR sepakat membentuk Panja RUU PPILN.

ADY
Bacaan 2 Menit
Menaker Anggap Istilah Hukum ‘Penempatan’ Kurang Pas
Hukumonline
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) berlanjut. Pemerintah dan DPR sepakat membentuk Panitia Kerja RUU ini dalam rapat yang berlangsung di Senayan, Rabu (03/2). Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf Macan Effendi langsung memimpin Panja tersebut.

Pemerintah sendiri akan banyak diwakili Dirjen Binapenta Kementerian Ketenagakerjaan, Hery Sudarmanto. Meskipun demikian Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri, sudah menyampaikan poin-poin pandangan Pemerintah dalam rapat tersebut. Intinya, Hanif berharap RUU PPILN membawa terobosan.

Salah satu yang disebut langsung Hanif adalah lema ‘penempatan’ tenaga kerja yang selama ini dipakai dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKLN beserta peraturan turunannya. Wet ini sudah berumur 12 tahun sehingga, kata Hanif, layak direvisi.

Menurut Hanif, istilah hukum ‘penempatan’ dalam norma undang-undang terkesan memposisikan buruh migran sebagai objek sehingga rentan dieksploitasi. Ia mengusulkan lema ini diganti ‘migrasi kerja’ yang konotasinya buruh migran sebagai subjek.

Perubahan istilah itu hanya sebagian kecil dari substansi yang ingin diubah. Hanid Hanif berharap RUU PPILN berisi paradigma baru dalam pengelolaan proses migrasi tenaga kerja Indonesia. “Kami berharap UU PPILN memuat hal baru yang berbeda (dari UU PPTKILN) dan menghadirkan terobosan untuk memberi kepastian dalam perlindungan terhadap pemangku kepentingan (buruh migran Indonesia),” katanya dalam rapat di ruang rapat Komisi IX DPR.

Ia juga berharap tata kelola imigrasi untuk buruh migran bisa mendorong pelayanan yang lebih cepat, murah, aman dan sederhana. Begitu pula dengan sumber informasi, sertifikasi dan advokasi yang diberikan untuk buruh migran. Tata kelola ini bagian dari aspek perlindungan dan melawan kejahatan human trafficking.

Proses migrasi tenaga kerja tidak boleh diatur secara statis karena undang-undang hanya perlu mengatur prinsip-prinsip umum. Lebih teknis soal migrasi kerja bisa diatur dalam peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau dibawahnya agar ketentuan tentang migrasi kerja bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Peran pemerintah daerah (pemda) dalam UU PPILN menurut Hanif harus diperkuat dan peran swasta dibatasi ketat. Buruh migran harus diberi pilihan dan perlindungannya diperkuat. Pelayanan yang transparan dan akuntabel jadi parameter penting. Oleh karenanya pelayanan untuk buruh migran ke depan diutamakan berbasis online.

Ketua Panja RUU, Dede Yusuf Macan Effendi, mengatakan DPR mengusulkan beberapa hal seperti keluarga buruh migran bisa mendapat program-program yang digulirkan pemerintah, dan meminimalisasi peran swasta seperti PJTKI/PPTKIS. Dede mengatakan selama ini peran swasta sangat besar dalam mengelola proses penempatan buruh migran Indonesia. Mulai dari informasi, perekrutan, pelatihan sampai pengiriman ke negara penempatan. Bahkan, upah buruh migran harus dipotong untuk membiayai proses tersebut. Akibatnya perlindungan terhadap buruh migran sangat minim. “Nasib buruh migran kita jangan dilepas begitu saja kepada swasta. Dalam UU PPILN nanti diatur pemerintah ikut bertanggungjawab,” ujarnya.

Dede mengusulkan peran pemerintah dalam proses migrasi kerja diperbesar. Mulai dari proses informasi pasar kerja di luar negeri, pelatihan, hingga pemenuhan dokumen-dokumen dan mengatur standar biaya (structure cost). Proses pelayanan juga dipermudah sehingga biaya dalam proses migrasi kerja itu bisa ditekan seminimal mungkin. Hal lain adalah usulan agar buruh migran menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Dengan begitu diharapkan buruh migran punya jaminan sosial yang melindungi mereka dari resiko kerja. Diharapkan BPJS Ketenagakerjaan juga bisa menjalin kerjasama dengan asuransi di negara tempat buruh migran Indonesia bekerja.
Tags:

Berita Terkait