Pembenahan Manajemen Perkara untuk Hadirkan Keadilan
Reformasi Peradilan:

Pembenahan Manajemen Perkara untuk Hadirkan Keadilan

Beragam kebijakan dikeluarkan Mahkamah Agung untuk modernisasi manajemen perkara. Ketepatan waktu sidang masih menjadi problem.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Panitera Mahkamah Agung, Made Rawa Aryawan, mengatakan molornya jadwal sidang dipengaruhi beberapa faktor seperti dalam perkara pidana melibatkan banyak pihak mulai dari lembaga pemasyarakatan dan rutan, hingga kepolisian dan pengacara. Misalnya persidangan belum mulai karena pengawalan belum siap. Sidang pidana belum bisa digelar karena menunggu tahanan dari rumah tahanan. Karena itu, kata Made, untuk menggelar sidang tepat waktu, dibutuhkan kedisiplinan dari semua pihak.

Transparansi

Made menjelaskan Mahkamah Agung telah melakukan upaya untuk membuat manajemen perkara menjadi transparan, mudah diakses masyarkat. Misalnya, Ketua MA menerbitkan SK Ketua MA No.144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, putusan MA dipublikasikan melalui Direktori Putusan MA yang diakses melalui website. Aturan itu diperbaharui melalui SK Ketua MA No.1-144 Tahun 2011, direktori putusan menjadi pusat data putusan MA dan badan peradilan di bawahnya. Terakhir tahun 2017 MA melakukan simplifikasi format putusan dan pembayaran biaya perkara menggunakan virtual account.

Untuk mengunduh setelah putusan dibacakan, Made menyebut itu baru bisa dilakukan hanya untuk amar putusan. Hal ini dilakukan untuk menghindari jual beli informasi oleh oknum. Untuk keseluruhan putusan masih membutuhkan waktu lebih karena harus melewati proses koreksi dan revisi.

Fokus MA saat ini dalam membenahi manajemen perkara yakni mempercepat penyelesaian perkara dan administrasinya. Salah satu upaya yang akan ditempuh menurut Made yakni menggunakan template putusan. Dengan cara itu diharapkan dapat mempercepat terbitnya putusan karena sudah ada formatnya. “Ini bisa mempercepat minutasi, untuk perkara di MA bisa dipangkas 2 bulan. Kalau dulu putusan bisa ratusan sampai ribuan lembar, sekarang dengan template itu tidak terjadi lagi,” urai Made.

Dengan segala upaya yang telah dilakukan Made berharap penanganan perkara bisa dipercepat. Begitu pula dengan penyampaian informasi perkara kepada publik. Sehingga dapat terwujud penyelenggaraan peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Hampir Tuntas

Sebenarnya, dalam pandangan Ariyo, modernisasi manajemen perkara di MA hampir tuntas. Saat ini MA masih melakukan peralihan dari mekanisme manual ke digitalisasi, dan yang belum dilakukan yaitu otomatisasi. Melalui otomatisasi semua data yang dimasukan dalam sistem bisa digunakan sistem lain tanpa memasukan data lagi karena sudah terintegrasi. Misalnya, data  perkara yang ada di SIPP, harusnya bisa digunakan untuk menganalisis beban kerja, promosi dan mutasi hakim. Alhasil, masih ada pengadilan yang belum memiliki hakim untuk bidang khusus seperti anak, korupsi dan perikanan. “Jadi modernisasi itu tidak hanya masalah digitalisasi tapi otomatisasi,” kata Ariyo.

(Baca juga: Independensi dan Akuntabilitas Peradilan Harus Sama-Sama Diperjuangkan).

Ariyo melihat capaian MA sampai saat ini mengenai transparansi manajemen perkara sudah baik, namun kurang memperhatikan pengadilan tingkat pertama dan banding. Padahal kedua pengadilan itu perlu disorot karena semua perkara yang berlabuh di MA berawal dari sana. Karena itu Ariyo menekankan agar perkara yang dikelola di pengadilan tingkat pertama dan banding harus transparan dan akuntabel sehingga bisa dipercaya masyarakat. Jika itu terwujud dia yakin masyarakat yang ingin mengajukan kasasi akan berpikir ulang karena pengelolaan perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding sudah benar. Misalnya, membentuk sistem yang bisa memilih majelis hakim agar sesuai dengan perkara yang akan ditangani. Pemilihan itu mencermati pendidikan hakim dan jenis perkara yang sering diampunya.

Ariyo mengingatkan agar pembenahan manajemen perkara di pengadilan jangan hanya fokus pada aktualisasi dan organisasi tapi juga proses sebelum perkara disidangkan. Salah satunya memilih hakim yang menangani perkara sesuai rekomendasi sistem sehingga obyektif. Untuk menjalankan itu dibutuhkan kebijakan yang diterbitkan Ketua MA.(FNH)

Tags:

Berita Terkait