Independensi dan Akuntabilitas Peradilan Harus Sama-Sama Diperjuangkan
Laporan dari Medan:

Independensi dan Akuntabilitas Peradilan Harus Sama-Sama Diperjuangkan

Arah pembahasan RUU Jabatan Hakim sangat ditentukan kemauan politik penguasa.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Seminar nasional tentang Independensi dan Akuntabilitas Peradilan di Medan, Selasa (25/4). Foto: MYS
Seminar nasional tentang Independensi dan Akuntabilitas Peradilan di Medan, Selasa (25/4). Foto: MYS
Independensi dan akuntabilitas peradilan, termasuk independensi hakim, ibarat dua sisi mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena saling melengkapi. Independensi saja tanpa akuntabilitas akan menyebabkan hakim berbuat semaunya, akuntabilitas tanpa independensi justru akan membuat hakim mudah diintervensi kekuasaan.

Demikian antara lain poin penting yang mengemuka dalam seminar nasional ‘Independensi dan Akuntabilitas Peradilan di Indonesia’ yang diselenggarakan di Medan, Selasa (25/4). Acara ini diselenggarakan Komisi Yudisial, PP Muhammadiyah, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) sehubungan dengan pembahasan RUU Jabatan Hakim. (Baca juga: Idealnya, RUU Jabatan Hakim Juga Atur Berbagai Jenis Hakim).

Komisi Yudisial adalah salah satu pihak yang terlibat dalam proses penyusunan RUU tersebut. Salah satu poin yang menarik perhatian Komisi Yudisial adalah independensi dan akuntabilitas peradilan. Komisioner Komisi Yudisial Republik Indonesia, Farid Wajdi, mengatakan RUU Jabatan Hakim tak bisa semata-mata hanya mengatur perlindungan terhadap independensi hakim. RUU juga penting memuat akuntabilitas peradilan. “Independensi dan akuntabilitas harus sama-sama diperjuangkan,” ujarnya.

Dijelaskan Farid, independensi peradilan berbasis pada kepercayaan yang berfungsi  sebagai proteksi terhadap institusi atau seorang pemegang kekuasaan yudikatif sebagai penegak keadilan dari kemungkinan intervensi pihak lain. Independensi penting agar peradilan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Independensi dalam konteks ini bermakna kekuasaan peradilan harus merdeka dari berbagai campur tangan pihak luar. (Baca juga: Lembaga Peradilan Belum Mampu Reformasi Kulturan Hakim).

Akuntabilitas peradilan penting untuk memastikan ada aturan konflik kepentingan, mekanisme pencegahan suap, dan pengawasan perilaku hakim. Mekanisme akuntabilitas bertujuan memastikan hakim bertindak independen, imparsial dan profesional dalam proses ajudikasi. Akuntabilitas memiliki anasir transparansi, tanggung jawab, dan kemampuan merespons kebutuhan publik. Menurut Farid, akuntabilitas bukanlah ancaman terhadap independensi. Keduanya harus dilihat dalam hubungan relasi laksana dua sisi koin mata uang. “Independensi tidak pernah berdiri sendiri,” papar Juru Bicara Komisi Yudisial itu. (Baca juga: Tiga Fokus KY dalam RUU Jabatan Hakim).

Advokat senior Medan, Abdul Hakim Siagian, juga menilai pentingnya menjaga keseimbangan antara independensi dengan akuntabilitas peradilan. Ia menilai independensi yang ada saat ini berpotensi mengarah pada absolutisme. Mengutip pandangan Lord Acton yang terkenal, independensi yang absolut berpotensi disalahgunakan secara absolut pula.

Berlindung di balik independensi, hakim tak jarang memutus perkara dengan pertimbangan yang dangkal. Selain itu proses penyelesaian perkara juga tak sesuai lagi dengan asas cepat, sederhana dan berbiaya ringan. “Sekarang Mahkamah Agung banyak memutuskan perkara tetapi cenderung seperti corong undang-undangan,” ujarnya.

Hakim mengajak kalangan perguruan tinggi untuk ‘menggugat’ independensi hakim lewat kajian-kajian terhadap putusan yang dihasilkan Mahkamah Agung. Semua pihak berkepentingan mengharapkan putusan-putusan Mahkamah Agung yang berkualitas.

Berkaitan dengan RUU Jabatan Hakim, Komisi Yudisial telah mengusulkan konsep shared responsibility. Konsep ini digali dari kewenangan yang dimiliki Komisi Yudisial baik dalam UUD 1945 maupun UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan perubahannya lewat UU No. 18 Tahun 2011. (Baca juga: Pentingnya Konsep Shared Responsibility dalam Rekrutmen Hakim).

Shared-responsibility (pembagian tanggung jawab bersama)  merefleksikan peran lembaga lain dalam pengelolaan manajemen hakim terkait rekrutmen calon hakim, pembinaan, promosi mutasi, pengawasan hingga pensiun hakim. Konsep ini menekankan pada manajemen pengelolaan hakim, dan melibatkan Komisi Yudisial dalam tanggung jawab pengelolaa tersebut. (Baca juga: MA Sebut Konsep Shared Responsibility Langgar Putusan MK).

Nasib konsep yang diajukan KY sangat bergantung pada pemahaman bersama para pemangku kepentingan dalam proses pembahasan RUU Jabatan Hakim. RUU ini sudah menjadi usul inisiatif DPR. Anggota Komisi III DPR, Raden Muhammad Syafi’i mengatakan arah pembahasan RUU Jabatan Hakim sangat ditentukan oleh political will pemegang kekuasaan. “Kuncinya adalah goodwill penguasa politik,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait