Penafsiran Konstitusi dan Identitas Tafsir Konstitusi
Kolom

Penafsiran Konstitusi dan Identitas Tafsir Konstitusi

Membangun keputusan dengan cara dialogis menjadi konsep yang tepat dan harus hadir di Mahkamah Konstitusi.

Bacaan 2 Menit

 

Berbeda dengan “originalism”, aliran non-originalism memberikan jawaban arti teks dari waktu ke waktu berdasarkan perspektif dan kepentingan pada saat itu. Hal ini berarti penafsiran dilakukan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai oleh penafsir dengan melihat kondisi faktual yang terjadi. Melihat suatu konstitusi, dengan pandangan pragmatis. Mereka menilai penafsiran yang kaku, tidak dapat mengantisipasi semua kejadian yang terjadi dimasa depan. Cara berfikir ini disebut sangat terbuka bahkan disebut cenderung liberal.

 

Dalam keduanya tumbuh metode-metode penafsiran. Pada aliran originalis tumbuh beberapa metode misalnya textual, original meaning, original intent dan purposive. Di aliran non originalism juga tumbuh beberapa metode misalnya fundamental law (ethos), symbolis dan prudentialis. Hal ini harus di dudukan secara jelas bahwa harus dibedakan istilah yang ada dalam keyakinan “aliran” dengan istilah yang ada dalam metode yang tubuh dalam keyakinan tersebut.

 

Identitas Keyakinan Penafsiran

Keduanya disebut dengan “aliran”, artinya melihat pada keyakinan yang diemban oleh seorang hakim. Maka hal ini menjadi unik, hakim harus berdiri di atas salah satu keyakinan tesrebut. Bagi hakim aliran non-originalism maka setiap putusannya akan mengacu cara metode penafsiran yang ada pada aliran tersebut. Mereka tidak akan menggunakan metode yang ada pada aliran lainnya. Begitu pula sebaliknya, haram bagi originalism dalam putusannya menggunakan metode non-originalism yang berakibat memberikan makna baru atas hukum.

 

Kenyataan ini sangat terasa pada tradisi hukum Amerika Serikat. Adanya keyakinan hakim atas suatu pilihan aliran. Bahkan sejak awal telah mendeklarasikan atas aliran yang mereka percayai. Pada setiap putusan dialiri keyakinan tersebut. Bukan hanya itu, buku-buku dan tulisan karangan hakim tersebut ditemasisasi berdasarkan aliran mereka.

 

Aliran ini menjadi identitas bagi mereka. Maka, tak salah jika disebut dengan “identitas penafsiran konstitusi”. Sebut saja nama Hugo Black, Antonin Scalia, Clarence Thomas dan Robert Bork, mereka penganut aliran originalism. Dan, nama Harry Blackmun, William Brennan, William O. Douglas, dan Richard Posner, menganut aliran non-originalism.

 

Hal ini yang tidak tampak pada Hakim MK di Indonesia. Pada Hakim MK di Indonesia, tidak terlihat aliran apa dan keyakinan apa yang mereka yakini. Akhirnya semua menjadi cair yang kadang menjadikan kebingungan atas identitas penafsirannya. Lahirlah tudingan Hakim MK plinplan, tidak jelas dan tidak konsisten yang disemayamkan ke MK. Karena bisa saja dalam satu putusan salah satu Hakim MK menggunakan metode yang berkembang dalam metode aliran originalism dan pada putusan lainnya hakim tersebut bisa berpindah pada metode yang ada pada aliran yang lainnya.

 

Apakah ini menjadi negatif? Tentunya tidak, karena MK secara prinsip menjadi tidak terjebak ke dalam pilihan metode yang dogmatis (pengsakralan terhadap suatu metode tertentu). Semua pilihan metode dapat dipertimbangkan dalam penafsiran, tergantung kebutuhan hukum.

Tags:

Berita Terkait