Penghentian Privatisasi Air Jakarta Jadi Dorongan Tren Global
Berita

Penghentian Privatisasi Air Jakarta Jadi Dorongan Tren Global

Menjadi momentum diskursus terkait hak atas air sebelum World Water Forum di South Korea.

KAR
Bacaan 2 Menit
Instalasi air. Foto: www.pu.go.id (Ilustrasi)
Instalasi air. Foto: www.pu.go.id (Ilustrasi)
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Maret mengabulkan sebagian gugatan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), mengenai pengelolaan air di DKI Jakarta. Putusan tersebut tidak hanya mengembalikan pengelolaan air minum di DKI kepada pemerintah.
Lebih dari itu, putusan tersebut mencerminkan keberhasilan masyarakat sipil melawan manipulasi operator swasta yang terus menumpuk keuntungan tanpa mempedulikan kualitas pengelolaan sumber daya air (SDA).

Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal Global Trade Union Federation, Rosa Pavanelli, dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Jumat (10/4).  Rosa mengatakan, pemenuhan kebutuhan air oleh pihak swasta di Jakarta jauh dari yang dijanjkan. Ia menyebut, tingkat perembesan di Jakarta cukup tinggi. Menurut Rosa, di Jakarta saja prosentasenya hampir 50 persen.

“Sementara itu, sejak adanya privatisasi ini harga air terus melejit. Di Jakarta bisa sampai Rp7.000 per m3. Ini hampir tiga kali lipat dari harga air yang dikelola BUMD di Surabaya,” paparnya.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PT Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya) menunjuk dua perusahaan asing untuk mengelola air di Jakarta sejak tahun 1997. Pengelolaan air di bagian barat Jakarta dilakukan oleh PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). Sementara itu, wilayah timur dikelola oleh PT Aetra air.

Oleh karena itu, Rosa menilai Putusan MK tentang pengelolaan SDA itu bukan hanya kesuksesan bagi masyarakat Jakarta dan Indonesia. Dengan lugas ia mengatakan, gerakan melawan privatisasi air itu merupakan catatan prestasi tersendiri bagi gerakan penyelamatan air dalam skala global. Bahkan, Rosa menyebut bahwa putusan itu menjadi bukti bahwa strategi privatisasi yang dibangun oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia itu sesat.

Rosa pun menegaskan, kini strategi privatisasi air tidak hanya sekadar banyak menuai penolakan. Lebih dari itu, Putusan MK menjadikannya sesuatu yang ilegal. Ia menambahkan, pihaknya telah mendesak agar Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia segera menghentikan praktik privatisasi air.

“Bukan hanya menghentikan, tapi juga harus mencegah privatisasi SDA dan sanitasi, termasuk di India dan Nigeria,” tandasnya.

Lembaga internasional lainnya, Transnational Institute, optimis bahwa Putusan PN Jakpus dan Putusan MK itu bisa memberikan dorongan besar untuk tren global. Direktur Eksekutif Transnational Institute, Fiona Dove, melihat bahwa saat ini gerakan menghentikan privatisasi air itu terus meningkat .

“Masyarakat global sudah menyadari bahwa privatisasi air gagal dan harus mengambil alih kendali pelayanan air secara kritis,” ujarnya.

Hal tersebut, menurut Fiona, akan memberdayakan banyak pemerintah lokal untuk mengakhiri privatisasi. Selain itu, Fiona juga mengatakan bahwa di seluruh dunia, secara sosial maupun ekonomi privatisasi air tebukti tidak berkelanjutan. Dirinya pun menilai bahwa kedua putusan penting itu harus menjadi momentum diskursus terkait hak atas air dan alternatif dari privatisasi air.

“Sekarang tinggal beberapa waktu lagi sebelum pemerintah dan pemangku kepentingan bertemu dalam World Water Forum di Korea Selatan. Putusan ini benar-benar jadi momentum penting,” imbuhnya.

Direktur Amrta Institute for Water Literacy, Nila Ardhianie, mengapresiasi Putusan PN Jakpus dan Putusan MK tersebut. Dua produk hukum itu menurutnya bisa menjadi landasan bagi para pemangku kepentingan untuk secara bersama-sama membangun fasilitas publik yang kuat untuk semua warga Jakarta.

Selain itu, ia juga yakin warga Jakarta juga bisa mendapatkan bantuan dari utilitas publik yang kuat, baik di Indonesia maupun dari luar negeri tanpa distorsi maksimalisasi keuntungan. “Terkait dengan kebijakan pengelolaan SDA di Jakarta, Nila menilai kini bergantung pada Gubernur,” tutur Nila.

Menurut Nila, Jakarta merupakan salah satu kota di dunia yang pelayanan airnya termasuk besar. Selain Jakarta, Nila juga menyebut kota lain seperti Paris, Berlin, Budapest, Buenos Aires, Darusalam, dan Kuala Lumpur. Sebagian dari kota-kota itu, kata Nila, pengelolaan airnya tidaklah ideologis. Akibatnya, privatisasi air yang gagal menghadirkan investasi justru melahirkan kemiskinan dan krisis air.

“Layanan publik atas air sebaiknya bisa mengintegrasikan kebutuhan sosial dan lingkungan yang sangat penting untuk perencanaan air secara berkelanjutan di masa depan,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait