Penyusunan Prolegnas Diharapkan Tripatrit
Utama

Penyusunan Prolegnas Diharapkan Tripatrit

DPD harus memperbaiki manajemen politik ketika berhadapan dengan DPR dan pemerintah.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Menkumham RI, Yasonna Hamonangan Laoly (kanan). Foto: RES
Menkumham RI, Yasonna Hamonangan Laoly (kanan). Foto: RES
Sejatinya, penyusunan Program Legislasi (Prolegnas) tidak lagi dibahas antara pemerintah dan DPR, tetapi juga melibatkan DPD. Namun pada praktiknya, penyusunan Prolegnas acapkali mengesampingkan DPD. Harapan penyusunan melalui tripatrit diukatakan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly, dalam rapat kerja (Raker) Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) DPD, di komplek parlemen, Selasa (4/11).

“DPD menjadi lembaga yang ikut mengawal proses legislasi nasional dalam a triparty system in the law making process antara DPR, DPD, dan Pemerintah,” ujarnya di Gedung DPD.

Harapan Yasonna belum dapat direalisasikan sepanjang uji materi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD diputus Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, kewenangan DPD ikut seluruh pembahasan dan penyusunan Prolegnas dibatasi dalam UU MD3. Padahal, klausul penyusunan Prolegnas hingga pembagasan RUU telah diputus oleh MK berdasarkan uji materi UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3 oleh DPD 2013 silam.

Yasonna berpandangan, prolegnas yang acapkali menjadi target DPR tak pernah tercapai. Soalnya, masih terdapat Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibuat berdasarkan ego sektoral, sehingga belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan arah politik pembangunan hukum nasional dan masyarakat. Yasonna mencatat, setidaknya target Prolegnas periode 2009-2014 hanya mencapai 71 RUU dari 261 RUU, atau sekitar 27,2 persen.

Mantan anggota DPR periode 2009-2014 itu mengatakan, keberhasilan pembangunan mesti didukung dengan kerjasama berbagai pihak. Setidaknya, menanggalkan ego sektoral masing-masing. Ia berpandangan, persoalan sektoral mengganggu hubungan pusat dan daerah yang berujung terganggunya pembangunan hukum.

Rendahnya capaian Prolegnas berbanding lurus dengan minimnya kualitas UU yang dihasilkan DPR. Bukan menjadi rahasia umum, UU yang disahkan DPR bermuara ke MK. Ya, uji materi menjadi langkah masyarakat akibat ketidakpuasan UU yang dihasilkan DPR. Bahkan, UU yang dihasilkan DPR tumpang tindih dengan perundangan lainnya.

Untuk itu, Yasonna sebagai wakil dari pemerintah akan mengkaji dan mencermati RUU dengan menelitik perundangan yang ada. Termasuk mencabut regulasi yang tidak diperlukan. Sebaliknya, perundangan yang berkualitas tetap akan dipertahankan.

“Pemerintah memiliki komitmen untuk memperkuat hubungan pusat-daerah yang bersinergi. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan hukum, baik di tingkat pusat maupun daerah,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, fungsi tugas dan wewenang DPD diupayakan mengarah pada penguatan hubungan pusat dan daerah. Apalagi setelah penyempurnaan aturan pemerintahan daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tengang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Perppu No.2 Tahun 2014.

Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin menyarankan agar DPD mampu membangun manajemen politik. Soalnya, dengan begitu DPD mampu memperjuangkan kepentingan politiknya, termasuk penyusunan Prolegnas dengan DPR dan pemerintah.

“Jadi, dengan kewenangan yang ada saat ini, anggota dan pimpinan DPD RI harus memperbaiki menejemen politiknya ketika berhadapan dengan DPR RI maupun pemerintah (Tripatrit). Khususnya terkait UU, anggaran dan pengawasan. Kalau tidak mampu, ya ganti saja,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPD.

Irman berharap DPD tak melulu mengajukan uji materi ke MK. Pasalnya, DPD merupakan bagian kekuasaan dalam menyusun dan membuat RUU hingga menjadi UU. Ia menilai, amandemen diperlukan dalam rangka penguatan DPD. Irman berpandangan pembangunan manajemen politik menjadi penting dengan meningkatkan visi dan kemampuan manajerial politik DPD.

“Seharusnya DPD RI berusaha keras untuk bisa membahas UU itu secara maksimal bersama DPR RI dan pemerintah. DPR RI yang mempunyai kewenangan legislasi-pembuatan UU, tapi ketika tidak melibatkan Presiden, maka pembahasan UU itu maka tidak bisa dilanjutkan, maka hal itu perlu amandemen, agar DPR dan DPD RI tidak terhambat oleh pemerintah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait