Pergub Parkir: Objek TUN atau Ranah HUM
Berita

Pergub Parkir: Objek TUN atau Ranah HUM

‘Regeling’ atau ‘beschickking’ harus dilihat karakteristik siapa yang dituju.

HRS
Bacaan 2 Menit
Pergub Parkir: Objek TUN atau Ranah HUM
Hukumonline

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang gugatan atas Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta tentang biaya parkir masih menyisakan tanda tanya advokat David ML Tobing. Sebagai penggugat, David merasa pertimbangan majelis hakim aneh dan ultra petita. Karena itu, advokat yang biasa menangani kasus konsumen ini menyatakan banding.

David mempersoalkan Pergub No. 120 Tahun 2012 tentang Biaya Parkir pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir untuk Umum di Luar Badan Jalan (Pergub Parkir). Prosedur penyusunan Pergub itu dinilai menyalahi prosedur, terutama persetujuan anggota DPRD DKI Jakarta. Pengadilan menolak gugatan David dan menganggap persoalan yang diajukan sang pengacara adalah objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Majelis dipimpin Amin Sutikno itu menyatakan Pergub yang dipersoalkan David adalah produk keputusan pejabat negara yang bersifat final, knkrit, dan individual. Bersifat final lantaran Pergub Parkir tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain. Karenanya, pengesahan dari Pergub Parkir dapat menimbulkan akibat hukum.

Mengenai syarat individual, majelis menilai, Pergub Parkir tidak ditujukan untuk umum, tetapi sudah ke individu tertentu yakni pihak yang parkir di badan jalan. Sehingga, hal ini dapat digolongkan kepada peraturan yang bersifat individual.

Pertimbangan itu dinilai David aneh. “Agak aneh ketika Peraturan Gubernur dapat dikatakan bersifat individual,” tutur David kepada hukumonline, usai pembacaan putusan, Senin (01/7).

David menambahkan bahwa sifat dari peraturan itu adalah regeling, yaitu mengatur. Setiap peraturan yang sifatnya mengatur, peraturan tersebut bersifat umum. Untuk produk pejabat negara yang bersifat individual, produk yang dikeluarkan dinamakan keputusan, beschikking. Tujuan dari individual ini adalah mengatur orang per orang.

David juga menyatakan majelis telah melebihi kewenangannya dalam memutus alias ultra petita. Soalnya, tidak ada dalil dari Gubernur DKI Jakarta yang menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili lantaran objek sengketa masuk ke ranah PTUN. Gubernur DKI Jakarta hanya mendalilkan objek sengketa masuk ke ranah Mahkamah Agung. Menurut Gubernur, penggugat dapat mengajukan judicial review terhadap Peraturan Gubernur apabila dinilai ada cacat formil atau material. “Putusan majelis telah melampaui kewenangannya, sudah ultra petita. Jadi, saya akan banding,” ujarnya.

Pengajar Ilmu Perundang-Undangan Universitas Indonesia Fitriani Ahlan Sjarief mengatakan suatu keputusan dapat diartikan secara luas atau sempit. Dalam arti luas, keputusan itu dinamakan peraturan yang sifatnya adalah umum atau abstrak. Sedangkan dalam arti sempit, keputusan itu dinamakan penetapan atau keputusan juga yang sifatnya konkrit dan individual.

Terkait dengan sifat individual, Fitri menerangkan bahwa untuk melihat  apakah peraturan ini bersifat regeling atau beschikking adalah melihat karakteristik dari siapa yang dituju. Karakteristik dari individual itu sendiri tetap bisa ditujukan ke banyak orang. Hanya saja, Fitri menekankan bahwa nama-nama dan alamat orang yang dimaksud disebutkan secara jelas. Atau boleh juga bahwa pemerintah telah menunjuk secara tegas sebuah kawasan yang dimaksud. Dilarang menggunakan kata barangsiapa dan setiap orang.

Ketika ditanyakan apakah Pergub Parkir termasuk kategori regeling atau beschikking, Fitri mengatakan bahwa penguasa terkadang tidak konsisten dalam menamai sebuah produknya.  “Mereka suka tidak konsisten pakai peraturan atau keputusan gubernur,” lanjutnya.

Terkait dengan kesalahan administrasi dalam penerbitan sebuah peraturan, Fitri mengatakan seharusnya memang tidak masuk ranah objek TUN. Harusnya, kata dia, sengketa ini masuk ranah Mahkamah Agung.

Meskipun saat ini kecenderungan yang terjadi adalah hak uji materiil (HUM) terhadap suatu materi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, Fitri mengatakan judicial review tetap dapat dilakukan terhadap kesalahan dalam prosedur pembuatan peraturan. “Seharusnya itu ranah Mahkamah Agung,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait