Status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ataupun permohonan pailit kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukanlah hal baru. Dalam beberapa waktu belakangan, banyak BUMN yang berstatus PKPU dan juga dinyatakan pailit setelah gagal menunaikan kewajiban.
Salah satu PKPU BUMN yang menarik perhatian adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Perusahaan pelat merah ini berkali-kali dimohonkan PKPU oleh kreditor ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan akhirnya menyandang status PKPU pada Juni 2022 silam.
Kemudian ada PT Kertas Leces (Persero) yang dinyatakan pailit pada 2018 silam. Perusahaan yang memproduksi kertas ini akhirnya dibubarkan oleh Presiden Jokowi pada Desember tahun 2023 lalu. Dan ada satu kasus yang pailit BUMN yang ramai diperbincangkan pada 2012 silam yakni PT Telkomsel, meskipun pada akhirnya MA membatalkan putusan pailit tersebut.
Baca juga:
- Ini Tantangan dan Strategi Penyelesaian PKPU dan Pailit Menurut Partner Altruist Lawyers
- Advokat Ini Usul Permohonan PKPU Hanya Boleh Diajukan Debitor
- Menyoal Hanya Advokat yang Boleh Ajukan Perkara Kepailitan-PKPU
Namun dalam praktiknya, tak semua PKPU terhadap BUMN dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga. Contohnya saja PKPU terhadap PT Waskita Karya (Persero). Pada akhir Desember 2023 silam, Waskita Karya harus menghadapi tujuh permohonan PKPU. Enam di antaranya berakhir damai, sementara satu permohonan ditolak majelis hakim dengan pertimbangan Pasal 223 UU Kepailitan dan PKPU.
Pasal tersebut menyebut bahwa BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), yakni Menteri Keuangan.
Jika merujuk penjelasan Pasal 2 ayat (5), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.