Persoalan Ini ‘Hantui’ Pelaksanaan Reforma Agraria
Berita

Persoalan Ini ‘Hantui’ Pelaksanaan Reforma Agraria

Ego sektoral menjadi tantangan terberat bagi pemerintah dalam menjalankan program tersebut.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
RUU Pertanahan akan atur pengelolaan tanah terlantar. Foto: ilustrasi (Sgp)
RUU Pertanahan akan atur pengelolaan tanah terlantar. Foto: ilustrasi (Sgp)
Program reforma agraria yang didengungkan pemerintah, melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memiliki tantangan yang tak mudah. Pakar hukum agraria dari Universitas Indonesia (UI) Suparjo Sujadi mengatakan, ego sektoral menjadi tantangan terberat bagi pemerintah dalam menjalankan program tersebut.

“Idealnya, land reform itu dilaksanakan untuk men-delivery social justice. Hingga sampai saat ini, social justice tidak ter-deliver karena ego sektoral tidak bisa ditembus. Saya justru melihat, pihak-pihak yang diberi mandat untuk melaksanakan program land reform, justru memiliki resistensi terhadap ide land reform itu sendiri,” tuturnya kepada hukumonline, akhir September lalu di Depok.

Suparjo menambahkan, sinyalemen ego sektoral dalam pelaksanaan reforma agraria ini sudah terjadi sejak agenda reforma agraria mulai diagendakan kembali di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Sejak zaman Presiden SBY, objek reforma agraria melalui pelepasan kawasan hutan, sudah mendapatkan resistensi dari Kementerian Kehutanan. Ego sektoral itu luar biasa besarnya. Kita butuh pemimpin yang kuat dan secara ideologis memahami konsep reforma agraria yang sejati,” ujarnya.

Hal serupa juga diutarakan Wakil Sekretaris Jenderal Sekretarian Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria (Seknas KPA), Dewi Kartika. Menurutnya, hingga kini masing-masing kementerian/lembaga memiliki indikator yang tak sama sehingga implementasi program reforma agraria dapat tersendat.

“Kementerian/Lembaga (K/L) sampai saat ini masih berpegang pada TORA versinya masing-masing. Pemerintah belum memiliki indikator yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan lokasi prioritas reforma agraria, dan bagaimana keterlibatan masyarakat sipil dalam mengidentifikasi tanah objek reforma agraria untuk memperbaiki struktur ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan,” ungkapnya kepada hukumonline.

Menurut Dewi, saat ini sudah muncul political will dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melaksanakan agenda reforma agraria menjadi prioritas nasional di bawah kendali kantor staf kepresidenan. “Tetapi leading sector-nya tetap berada di Kementerian ATR/BPN berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017,” katanya.

Dari skema Tanah untuk Objek Reforma Agraria (TORA) yang dicanangkan pemerintah dan diperuntukkan untuk redistribusi lahan, angka yang signifikan justru didapat dari pelepasan kawasan hutan, yakni sebesar 4,1 juta hektar. Sedangkan TORA yang didapatkan dari tanah-tanah terlantar hanya sebesar 0,4 juta hektar.

Atas dasar itu, redistribusi lahan yang menjadi kejaran target reforma agraria oleh pemerintah saat ini masih tergantung pada pelepasan status kawasan hutan yang kewenangannya berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (Baca Juga: Mengintip Reforma Agraria dan Persoalan yang Tak Kunjung Rampung)

Tim Kerja
Berdasarkan Keputusan Kepala Staf Presiden No. 7 Tahun 2016 dibentuklah Tim Kerja Reforma Agraria dalam rangka melaksanakan RKP tahun 2017. Khususnya untuk prioritas nasional reforma agraria. Tim ini diperlukan untuk melakukan persiapan yang terkoordinir dan langkah-langkah yang sistematik, bekerja sama dengan Bappenas serta K/L di pusat dan di daerah.

Nama-nama yang dipercaya mengisi posisi tim ini sebagian besar berasal dari peneliti dan aktivis sejak lama berkutat dalam isu-isu agraria. Noer Fauzi Rahman bertindak sebagai pengarah, Yanuar Nugroho bertindak selaku penanggung jawab, sedangkan posisi ketua tim dipercayakan kepada Abetnego P Tarigan (mantan Ketua Umum WALHI).

Dewi mengaku pernah beberapa kali diturutsertakan dalam rapat terbatas bersama KSP di beberapa wilayah seperti Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Jambi. Dari kegiatan tersebut, ia mengetahui sejauh mana tim kerja di bawah koordinasi KSP menunaikan tugasnya.

“KSP sudah menyusun dokumen yang dinamakan Strategi Nasional (Stranas) Pelaksanaan Reforma Agraria yang dimaksudkan untuk mensinergiskan program-program yang ada di kementerian/lembaga terkait, yakni Kementerian ATR/BPN dan KLHK sebagai penyedia TORA, Kementerian Desa dan Kementerian Pertanian yang akan melaksanakan program-program pendukung pasca dijalankannya redistribusi lahan,” tuturnya.

Melalui tim ini, lanjut Dewi, terlihat adanya keseriusan pemerintah dalam menjalankan reforma agraria. Meski begitu masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. “Tetapi banyak persoalan yang mesti diselesaikan, kerja-kerja di bawah KSP ini perlu dikawal, karena masih banyak ditemukan ketidaksinkronan dengan praktik yang terjadi di lapangan. Misalnya penetuan TORA itu harus tepat objek dan subjeknya, jangan hanya diidentifikasi secara top down, tetapi juga harus melibatkan masyarakat sipil,” ujarnya.

Harapan dan kritik yang sama juga disampaikan Khalisah Khalid, Manajer Kampanye WALHI. Ia berharap, hasil dari tim kerja ini melahirkan pondasi reforma agraria ke arah yang benar. (Baca Juga: DPR Nilai Reforma Agraria Belum Berhasil)

“Kami memang menghendaki kendali pelaksanaan reforma agraria ini langsung di bawah Presiden, termasuk juga nanti pembentukan BORA (Badan Otoritariat Reforma Agraria) juga langsung berada di bawah Presiden untuk menghindari masalah ego-sektoral. Sehingga Kementerian ATR/BPN ini bisa dikendalikan untuk menunjukkan peta indikatif yang memuat objek tanah yang bisa diredistribusi dan melakukan pendataan tanah-tanah eks-HGU yang terlantar untuk dijadikan objek reforma agraria,” katanya kepada hukumonline.

Menurutnya, yang perlu ditekankan adalah kewenangan KSP sifatnya terbatas. Sifatnya hanya sebagai pengendali, sementara eksekutor kewenangannya tetap berada di kementerian/lembaga. “KSP punya mandat untuk menginstruksikan dan seterusnya, tetapi yang perlu diingat, kewenangannya terbatas. Sehingga KSP ini sifatnya transisional, menuju satu institusi yang bekerja langsung di bawah Presiden untuk melaksanakan reforma agraria yang sejati,” ujar Khalisah.

Suparjo menambahkan, KSP juga dapat fokus dalam hal peraturan terkait reforma agraria. Menurutnya, tak sediki peraturan yang sudah tak relevan lagi. “Peraturan yang mengatur land reform itu harus diperbaharui, karena sudah out of date. Ini yang lebih logis menurut saya, dibanding melakukan legalisasi aset dengan mengatasnamakan land reform. Legalisasi aset itu an sich berbeda dengan land reform,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait