Polri Bela Diri dalam Konstitusionalitas Penerbitan SIM-STNK
Utama

Polri Bela Diri dalam Konstitusionalitas Penerbitan SIM-STNK

Polisi mengklaim tetap melayani pembuatan SIM D untuk menyandang disabilitas. Syarat kesehatan jasmani justru demi keselamatan pengemudi dan penumpang.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Seorang penyandang disabilitas, Kusbandono menjadi saksi yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji materi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Rabu (16/9). Foto: Humas MK
Seorang penyandang disabilitas, Kusbandono menjadi saksi yang dihadirkan Pemohon dalam sidang uji materi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Rabu (16/9). Foto: Humas MK
Majelis Mahkamah Konstusi (MK) ‎kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Permohonan inimempermasalahkan kewenangan Polri menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).

Usai mendengarkan sidang dengan agenda keterangan saksi, Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Waka Korlantas) Polri, Brigadir Jenderal (Pol) Sam Budigudian membantah ada diskriminasi dalam pengajuan SIM, STNK, atau BKPB. Proses dan persyaratan penerbitan SIM, STNK, dan BPKB sudah diatur dalamUU LLAJ dan Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi (SIM) termasukbagi penyandang cacat (difabel). “Tidak ada diskriminasi dan prinsipnya kita melayani,” ujar Sam di ruang sidang MK, Rabu (16/9).

Dia menjelaskan penerbitan SIM-STNK tetap harus memenuhi persyaratan termasuk syarat harus lolos tes kesehatan jasmani bagi penyandang difabel. Syarat lolos kesehatan ini tertuang dalam Pasal 80 UU LLAJ dan Pasal 35 Perkap. “Syarat kesehatan ini, karena SIM itu berkaitan dengan keselamatan diri pengemudinya dalam berlalu lintas,” tegasnya.

Meski begitu, kata Sam‎, para penyandang cacat atau difabel tetap bisa mengajukan permohonan SIM D, sehingga tidak ada diskriminasi antara warga biasa dengan difabel. Namun, mereka (difabel) tetap harus mengikuti sejumlah persyaratan kesehatan.

“Kalau kemarin ada yang buta dan tuli, itu tidak masuk syarat. Karena itu membahayakan diri dan kita pasti memperhatikan keselamatannya. Jadi bukan berarti Polri tidak keluarkan SIM D. Di Polda Metro Jaya sudah ada tiga ribu lebih SIM D diterbitkan, belum di Jawa Timur,” kata Sam.

Sebelumnya dalam persidangan, seorang saksi difabel yang dihadirkan pemohon, Kusbandono, mengaku sudah berkali-kali gagal dalam ujian SIM D di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Namun, justru teman-temannya sesama penyandang cacat di Jember malah sudah mendapat SIM D.

“Sudah mengendarai kendaraan roda tiga selama empat tahun. Tempat mengajukannya di Polres Tuban. Tetapi, teman-teman saya di Jember banyak yang dipermudah,” kata Hari dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat.

Seperti diberitakan sebelumnya, Alissa Q. Munawaroh Rahman, Hari Kurniawan, Malang Corruption Watch (MCM), YLBHI, PP Pemuda Muhammadiyah memohon pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf b, c UU Polri dan Pasal 64 ayat (4), (6); Pasal 67 ayat (3); Pasal 68 ayat (6); Pasal 69 ayat (2), (3); Pasal 72 ayat (1), (3); Pasal 75, Pasal 85 ayat (5); Pasal 87 ayat (2); dan Pasal 88 UU LLAJ terkait kewenangan Polri menerbitkan SIM dan STNK.

Para pemohon menganggap sesuai Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tugas menerbitkan SIM dan STNK bukanlah tugas dan fungsi Polri. Tugas Polri justru menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Kewenangan menerbitkan SIM/STNK di tangan Polri justru mengakibatkan masyarakat tidak terlayani, penegakan hukum disalahgunakan, dan biaya SIM cenderung korupsi.

Menurut pemohon, pembagian tugas administrasi pemerintahan yang baik, wewenang mengeluarkan peraturan, menjalankan, dan menindak seharusnya tidak berada pada instansi yang sama. Sebab, dalam penerbitan SIM selama ini, Polisi memegang kewenangan mulai menjalankan hingga menindak bahkan membuat pengaturan secara terbatas.

Karenanya, para pemohon meminta pasal-pasal yang menyangkut frasa “Polri” dan “Peraturan Kapolri” dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “Kementerian Perhubungan” dan “Peraturan Menteri Perhubungan” karena bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait