Kewenangan Penerbitan SIM/STNK Open Legal Policy
Berita

Kewenangan Penerbitan SIM/STNK Open Legal Policy

Polri berharap MK mempertimbangkan dengan sungguh- sungguh dampak negatif jika permohonan uji materi UU Kepolisian dan UU LLAJ ini dikabulkan.

ASH
Bacaan 2 Menit
DPR diwakili anggota Komisi III DPR John Kenedy Azis saat menyampaikan keterangan dalam sidang uji materi UU LLAJ dan UU Polri, Senin (7/9). Foto: Humas MK
DPR diwakili anggota Komisi III DPR John Kenedy Azis saat menyampaikan keterangan dalam sidang uji materi UU LLAJ dan UU Polri, Senin (7/9). Foto: Humas MK
  tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) terkait kewenangan Polri menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan () kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kali ini, MK mengagendakan pandangan dari pemerintah, DPR, dan Polri sebagai pihak terkait.             “Usulan itu jelas berada dalam wilayah . Atas dasar itu, para pemohon sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi (legal standing) untuk mengajukan permohonan,” kata John.    

Kewenangan yang Sah
Sementara Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Inspektur Jenderal (Pol) Condro Kirono menegaskan Pemerintah dan DPR pun telah menjelaskan kalau kewenangan tersebut sebagai legal open legacy. Jadi, Polri hanya menjalankan amanah yang diberikan pemerintah dan presiden melalui kedua UU tersebut sebagai delegasi kewenangan dalam pemerintahan negara.

“Kewenangan yang dipersoalkan bersifat open norm. Artinya, penambahan, pengurangan, atau penugasan sesuatu kewenangan yang terkait dengan Polri merupakan lingkup kewenangan kekuasaan pembentuk undang-undang, yaitu DPR dengan persetujuan bersama Presiden,” ujar Condro.    

Karenanya, kewenangan Polri di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan penerbitan SIM merupakan kewenangan yang sah. Sebab, DPR dan Presiden telah mengamanatkan kewenangan penerbitan SIM/STNK dalam UU Polri dan UU LLAJ. ‎Lagi pula, kewenangan Polri ini sudah didasarkan pada pertimbangan secara yuridis konstitusional yang dijamin Pasal 34 ayat (4) UUD 1945.

‎Pasal 34 ayat (4) UUD 1945‎ memberi tugas pada Polri untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum agar dapat mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai salah satu tujuan dari negara.

Secara historis, kata dia, penyelenggaraan Registrasi Kendaraan Bermotor dan penerbitan SIM sejak awal berkembangnya kendaraan bermotor di Indonesia sudah diserahkan sebagai bagian tugas kepolisian. Secara sosiologis pun dalam masyarakat sudah tertanam pemahaman dan kesadaran bahwa Registrasi Kendaraan Bermotor dan SIM menjadi tugas kepolisian. 

Karena itu, Polri berharap agar MK mempertimbangkan dengan sungguh- sungguh dampak negatif jika permohonan uji materi UU Polri dan UU LLAJ ini dikabulkan baik dampak sosiologis maupun sosiologis. “Dampak psikologis berupa pelemahan semangat korps kepolisian dalam mengemban tugas-tugas konstitusional. Dampak sosiologis berupa ketidakpastian masyarakat yang memerlukan bantuan kepolisian,” ujarnya. ‎

Sebelumnya, Alissa Q. Munawaroh Rahman, Hari Kurniawan, Malang Corruption Watch (MCM), YLBHI, PP Pemuda Muhammadiyah memohon pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf b, c UU Polri dan Pasal 64 ayat (4), (6); Pasal 67 ayat (3); Pasal 68 ayat (6); Pasal 69 ayat (2), (3); Pasal 72 ayat (1), (3); Pasal 75, Pasal 85 ayat (5); Pasal 87 ayat (2); dan Pasal 88 UU LLAJ terkait kewenangan Polri menerbitkan SIM dan STNK.

Mereka menganggap sesuai Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tugas menerbitkan SIM dan STNK bukanlah tugas dan fungsi Polri, melainkan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Justru, dampak kewenangan menerbitkan SIM/STNK ini masyarakat tidak terlayani, penegakan hukum disalahgunakan, dan cenderung korupsi.   

Menurut pemohon, pembagian tugas administrasi pemerintahan yang baik, wewenang mengeluarkan peraturan, menjalankan, dan menindak seharusnya tidak berada pada instansi yang sama. Sebab, dalam penerbitan SIM selama ini, Polisi memegang kewenangan mulai menjalankan hingga menindak bahkan membuat pengaturan secara terbatas.

Karenanya, para pemohon meminta pasal-pasal yang menyangkut frasa “Polri” dan “Peraturan Kapolri” dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “Kementerian Perhubungan” dan “Peraturan Menteri Perhubungan” karena bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. 
Pengujian sejumlah pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2002tentang Kepolisian dan UU Nomor 22 Tahun 2009STNK

Dalam keterangannya, pemerintah menganggap kewenangan Polri menerbitkan SIM/STNK merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Lagipula, kewenangan penerbitan SIM/STNK ini tidak lepas dari fungsi kepolisian sebagai pengayom dan pelindung masyarakat yang diatur dalam UU Polri.   

“Bagi pemerintah pengujian UU ini tidak seharusnya diajukan ke MK. Sebab, penambahan tugas yang diberikan pada kepolisian terkait penerbitan SIM, STNK dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagai open legal policy yang merupakan kewenangan pembuat UU,” ujar Nasrudin selaku Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham dalam sidang lanjutan UU Polri dan UU LLAJ di Gedung MK, Senin (7/9).

Nasrudin melanjutkan adanya permintaan para pemohon agar penerbitan SIM, STNK dan BPKB dialihkan ke Kementerian Perhubungan juga tidak tepat. “Usulan ini merupakan legislative review yang bukan kewenangan MK,” kata Nasrudin.  

Anggota DPR Komisi III, John Kennedy Azis pun menilai memindahkan atau mengalihkan kewenangan penerbitan SIM/STNK kepada Kementerian Perhubungan tidak menjamin berbagai persoalan penerbitan SIM, STNK, dan BPKB dapat mudah diatasi.legislative review

Menurutnya, yang terpenting saat ini peningkatan mutu pelayanan penerbitan SIM/Polri oleh kepolisian. Hal ini yang seharusnya jadi perhatian agar pelayanan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor menjadi lebih baik. Dia mengakui jika merujuk Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, tidak disebut Polri memiliki kewenangan tersebut. Hanya saja, lanjutnya, penerbitan SIM, STNK dan BPKB harus dilihat sebagai fungsi kepolisian dalam mengayomi dan melayani masyarakat.

“Fungsi yang dijalankan bersangkutan dengan pengayoman, berkaitan tugas sosial yang sehari-hari berhadapan dengan masyarakat. Itu pelayanan yang efektif guna pemenuhan hak masyarakat. Jadi, undang-undang yang dipersoalkan para pemohon sebenarnya tidak bertentangan dengan konstitusi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait