Prof Yusril Ihza Mahendra: Pendidikan Tinggi Hukum Harus Adaptif
Terbaru

Prof Yusril Ihza Mahendra: Pendidikan Tinggi Hukum Harus Adaptif

Dengan menyesuaikan perkembangan terbaru yang semakin kompleks hingga mengarah pada spesialisasi yang lebih dalam. Ada plus-minus dari perkembangan teknologi yang berimbas pada dunia pendidikan tinggi hukum Indonesia.

Ferinda K Fachri
Bacaan 2 Menit
Prof. Yusril Ihza Mahendra saat berbincang dengan Hukumonline di ruang kerjanya, Selasa (21/11/2023). Foto: RES
Prof. Yusril Ihza Mahendra saat berbincang dengan Hukumonline di ruang kerjanya, Selasa (21/11/2023). Foto: RES

Di tengah gempuran teknologi yang sedemikian pesatnya berimbas pada berbagai aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya sektor pendidikan tinggi hukum. Misalnya, semakin ramainya isu mengenai Artificial Intelligence (AI), berbagai layanan peradilan secara elektronik, dan lain-lain yang perlu dikaji dan dipahami kalangan civitas akademikia Fakultas Hukum.

“Pendidikan tinggi hukum kita itu kan berubah mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan teknologi informasi sekarang ini membuat kita berubah drastis dari zaman sebelumnya terutama dalam memperoleh informasi menjadi lebih cepat,” ujar Managing Director Ihza & Ihza Law Firm Advocates Office, Prof. Yusril Ihza Mahendra, yang juga dikenal sebagai pakar hukum tata negara ketika dijumpai di kantornya, Selasa (21/11/2023).

Baca Juga:

Mantan Menteri Kehakiman dan HAM ini melihat berbagai literatur hukum dapat lebih mudah didapat dengan adanya teknologi yang terus berkembang pesat. Dengan kemudahan melalui teknologi dan berbagai inovasi di dunia pendidikan tinggi berdampak pada kemudahan proses belajar dan riset. Namun, ia tak menampik adanya plus-minus dari perkembangan teknologi yang berimbas pada dunia pendidikan tinggi hukum Indonesia.

“Tetapi kita tidak bisa menahan perubahan zaman dan kita akan terus mengalami perubahan. Sebetulnya bahan pendidikan tinggi hukum yang kita berikan itu sebenarnya basic-nya tetap sama. Hanya saja bagaimana kita menyajikan perkuliahan itu, mulai dari mengacu pada sumber-sumbernya, bagaimana memecahkan masalah,” ujar pria yang kini tercatar sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafiiyah ini.

Hukumonline.com

Prof. Yusril Ihza Mahendra. 

Berbeda dengan puluhan tahun lalu, kata Prof Yusril, sempat terjadi perbedaan pandangan terhadap lulusan pendidikan tinggi hukum yang dapat berprofesi sebagai advokat. Sebab, tidak hanya universitas yang bisa mencetak sarjana-sarjana hukum (untuk menjadi advokat, red), tetapi juga orang yang menyandang gelar dari Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM) dan Institut Agama Islam negeri (IAIN).

“Saya mengambil langkah yang liberal waktu itu (menjadi Menteri Kehakiman, red). Saya bilang, pokoknya semua yang belajar hukum bisa jadi advokat. Karena nanti kan mereka harus belajar sendiri. Akibat kebijakan itu kemudian IAIN berubah dari Fakultas Syariah menjadi Fakultas Syariah dan Hukum. Berilah kesempatan kepada anak-anak IAIN untuk bisa buktikan jadi pengacara di Pengadilan Agama dulu, tapi kalau sudah diperluas nanti kan sama.”  

Prof. Yusril mengutip UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang dulu ia sempat terlibat dalam penyusunannya. Tepatnya, Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yang berbunyi, “yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”.

Dalam konteks saat ini, Prof. Yusril memandang pendidikan tinggi hukum harus dapat bersifat adaptif dengan menyesuaikan perkembangan terbaru yang semakin kompleks hingga mengarah pada spesialisasi yang lebih dalam. “Tapi saya pikir asas umum ilmu hukum harus dikuasai semua, itu bisa dipelajari dimana-mana,” katanya.

Tags:

Berita Terkait