Rencana Revisi PP Pengetatan Remisi Dinilai Bermuatan Politis
Berita

Rencana Revisi PP Pengetatan Remisi Dinilai Bermuatan Politis

Lantaran banyak kader PDIP yang terjeblos kasus korupsi.

FAT
Bacaan 2 Menit
Alvon Kurnia Palma. Foto: SGP
Alvon Kurnia Palma. Foto: SGP
Rencana Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang akan merevisi PP No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan atau yang disebut dengan PP Pengetatan Remisi, terus menuai kritik. Kali ini, kritikan datang dari Ketua Badan Pengurus YLBHI, Alvon Kurnia Palma.

Alvon menduga rencana tersebut memiliki agenda tersembunyi, sehingga revisi PP tersebut tidak berdasarkan pada muatan yuridis melainkan politik. Hal ini terlihat dari banyaknya kader partai yang menjadi tersangka, terdakwa hingga terpidana kasus korupsi.

“Ada apa menteri merevisi PP ini, banyak terpidana korupsi dari PDIP. Artinya ada motif politik. Oleh sebab itu makanya ini tidak bermuatan yuridis, tapi lebih bermuatan politik,” kata Alvon dalam sebuah diskusi di Gedung DPD di Jakarta, Rabu (18/3).

Ia menuturkan, PP Pengetatan Remisi yang diterbitkan pada tahun 2012 silam sudah sangat baik. Apalagi dalam PP tersebut, seluruh narapidana kejahatan luar biasa (extraordinary crime) wajib memenuhi syarat tambahan agar bisa memperoleh remisi. Misalnya, menjadi justice collaborator dalam kasus yang menimpanya.

Menurut dia, pemberian remisi adalah hak, tapi bukan hak asasi manusia. Oleh karena itu, remisi diberikan sebagai bentuk reward atau penghargaan bagi narapidana yang dianggap telah berbuat baik selama dalam masa pembinaan. Atas dasar itu, ia menilai, tak ada alasan lagi bagi Menkumham Yasonna H Laoly untuk merevisi PP Pengetatan Remisi.

Hal serupa juga diutarakan oleh Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu. Menurutnya, remisi merupakan hak bagi narapidana, tapi bukan hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. “Dari lahir kita tidak punya hak remisi,” katanya.

Ia mempertanyakan sikap Menkumham Yasonna yang ingin merevisi PP Pengetatan Remisi. Menurutnya, sikap tersebut bertolak belakang dengan Menkumham periode sebelumnya, Amir Syamsuddin. Dalam perkara uji materi PP Pengetatan Remisi di Mahkamah Agung (MA), Amir menegaskan bahwa PP ini tidak diskriminatif. Hasilnya, Kemenkumham memenangkan perkara tersebut.

“Setelah Menkumham berganti sekarang berbeda. Kenapa Menkumham berubah pandangan saat rezimnya berubah?” telisik Erasmus.

Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad memiliki pandangan yang berbeda. Senator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menilai, pemberian remisi dapat dilakukan ke seluruh tindak pidana kejahatan. Namun, remisi diberikan jika terpidana tersebut telah berbuat baik selama menjalani masa hukuman.

Meski remisi bisa diberikan, lanjut Farouk, ia menyarankan agar ada perbedaan pemberian remisi kepada pelaku kejahatan extraordinary crime dan kejahatan konvensional. Tujuannya, agar narapidana tersebut bisa diterima masyarakat pada saat keluar dari penjara.

“Perlu ada pemikiran untuk membedakan bagaimana berikan remisi, dari prosedur sampai besarnya pemberian remisi dengan kejahatan yang dilakukan, seperti extraordinary crime,” tutur Farouk.

Di saat yang sama, mekanisme penghukuman kepada calon terpidana harus dibedakan dari kejahatan yang dilakukan. Penghukuman harus memperhatikan segi moral dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. “Misalnya, pembunuh satu orang dengan pembunuh 10 orang, hukumannya pun berbeda,” kata Farouk.

Wakil Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila juga berpandangan bahwa tiap narapidana bisa memperoleh remisi. Meski boleh diberikan remisi, namun ia menilai, perlu ada perlakuan berbeda antara narapidana yang satu dengan yang lain. Perlakuan berbeda ini hanya bisa dilakukan jika menjadi konsensus nasional dalam bentuk UU, bukan PP.

Hal ini sesuai dengan Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal itu berbunyi, hak dan kebebasan yang diatur dalam UU ini hanya dapat dibatasi oleh berdasarkan UU semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.

“Artinya diskriminasi bisa dilakukan, kalau jadi konsensus nasional tidak cukup PP. Khawatir akan disalahgunakan dalam konteks kekuasaan itu. Jadi diskriminasi bisa dilakukan dalam konsensus bangsa dan dituangkan dalam UU. Bisa dilakukan melalui revisi UU Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995),” tutup Laila.
Tags:

Berita Terkait