Sanksi Tidak Tuntaskan Masalah BPJS Kesehatan-RS Swasta
Berita

Sanksi Tidak Tuntaskan Masalah BPJS Kesehatan-RS Swasta

Daripada menjatuhkan sanksi lebih baik menaikkan tarif INA-CBGs.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Sanksi Tidak Tuntaskan Masalah BPJS Kesehatan-RS Swasta
Hukumonline
Rumah sakit swasta yang tidak mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan terancam sanksi. Ancaman sanksi itu pernah dilontarkan langsung Presiden Joko Widodo, bahkan lebih dari satu kali. Presiden meminta agar RS swasta tak hanya memikirkan untung.

Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat  banyaknya RS swasta yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan menjadi salah satu kendala pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Menurutnya, hal itu mengakibatkan peserta mengantri panjang di RS yang sudah bekerjasama untuk mendapat pelayanan kesehatan.

Mengacu data BPJS Kesehatan, masih ada 600-an RS swasta yang belum menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Timboel menduga RS swasta ini enggan bekerjasama lantaran tarif yang tercantum dalam paket INA-CBGs sebagaimana diatur lewat Permenkes No. 59 Tahun 2014 terlalu rendah. Harga yang ada di INA-CBGs dinilai belum sesuai dengan harga keekonomian RS swasta. Akibatnya, banyak RS swasta yang menolak jadi mitra BPJS Kesehatan.

Timboel berpendapat semangat pemerintah menggelar program BPJS Kesehatan baik, terutama memperbaiki pelayanan kesehatan. Tetapi niat memperbaiki dilakukan dengan ancaman penjatuhjan sanksi, seperti tidak memberikan izin, kurang pas. “Semangat untuk memperbaiki pelayanan kesehatan bagi BPJS Kesehatan itu baik, tapi caranya jangan mengancam RS swasta,” katanya di Jakarta, Jumat (08/5).

Pasalnya, dikatakan Timboel, RS swasta berbeda dengan RS milik pemerintah. Misalnya, RS swasta menggaji dokter, perawat dan tenaga medis tanpa mendapat bantuan pemerintah. Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur dan alat kesehatan. Belum lagi pajak yang dikenakan pemerintah terhadap alat kesehatan sangat tinggi. Berbagai persoalan itu jadi beban yang ditanggung sendiri oleh RS swasta. Sedangkan RS milik pemerintah mendapat bantuan penuh dari pemerintah baik pusat atau daerah.

Oleh karena itu ketimbang menjatuhkan sanksi, Timboel mengusulkan Presiden Jokowi untuk memanggil Menteri Kesehatan dan memerintahkan agar Permenkes No. 59 Tahun 2014 dievaluasi. Terutama ketentuan yang mengatur tarif paket INA-CBGs. Evaluasi itu harus dilakukan mengacu pasal 24 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang mengamanatkan besaran pembayaran kepada fasilitas kesehatan (faskes) untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.

“Keterlibatan asosiasi RS di wilayah harus dipastikan ada sehingga penentuan Paket INA-CBGs tersebut tidak satu arah hanya dari pemerintah saja,” ujar Timboel.

Selain itu, Timboel melanjutkan, pemerintah juga bisa memberi insentif pajak bagi RS swasta. Seperti insentif pajak pembelian alat kesehatan. Sehingga RS swasta bisa mengalihkan insentif itu untuk biaya pelayanan pasien BPJS Kesehatan.

Untuk mendorong agar RS swasta mau bekerjasama dengan BPJS Kesehatan bisa juga dilakukan pemerintah dengan merevisi UU No.40 Tahun 2009 tentang RS. Caranya, memasukan ketentuan yang mengamanatkan seluruh RS wajib bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Dalam pembagian kartu Indonesia sehat (KIS) di PT Dok & Perkapalan Koja Bahari di Tanjung Priuk beberapa waktu lalu, Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan perlu peran pemerintah untuk mendorong agar RS mau menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Dorongan itu juga diperlukan agar RS memberi pelayanan yang baik terhadap peserta BPJS Kesehatan.

BPJS Kesehatan mencatat di awal bergulirnya program JKN, hanya ada 1.109 RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Sampai akhir 2014 jumlah itu naik 51,58 persen atau menjadi 1.681 RS. Terdiri dari 583 RS milik pemerintah, 42 RS BUMN, 159 RS Khusus, 34 RS Jiwa, 103 RS TNI, 40 RS Polri, 652 RS Swasta dan 68 Klinik Utama.
Tags:

Berita Terkait