Setahun, 25 Kasus Menimpa Aktivis HAM
Berita

Setahun, 25 Kasus Menimpa Aktivis HAM

Belum ada lembaga yang khusus memberi perlindungan terhadap pembela HAM.

ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: SGP.
Gedung Komnas HAM. Foto: SGP.
Pemerintah dinilai minim memberi perlindungan kepada para aktivis pembela HAM. Tak ada lembaga yang secara khusus memberikan perlindungan. Padahal, kata Swandaru, peneliti Imparsial, perlindungan dibutuhkan karena pembela HAM kerap menghadapi kendala ketika melaksanakan tugasnya mendampingi korban pelanggaran HAM.

Imparsial mencatat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir rata-rata setiap tahun terjadi 25 kasus yang menimpa pembela HAM. Namun, Swandaru yakin kasus yang tidak tercatat lebih banyak. ICW malah memperkirakan 40 kasus kekerasan menimpa aktivis anti korupsi di Indonesia. Perlindungan patut mendapat perhatian ke depan. “Pemerintah harus menginstitusionalisasikan perlindungan bagi pembela HAM,” kata Swandaru dalam diskusi yang digelar Imparsial di Jakarta, Selasa (07/10).

Aksi kekerasan dan kriminalisasi, dua pola yang sering dijumpai. Kriminalisasi menggunakan tuduhan pencemaran nama baik. Polisi memang sudah mengantisipasi agar kasus korupsi yang dilaporkan lebih didahulukan daripada memproses aktivis pelapornya. Swandaru mengapresiasi kebijakan Polri itu, dan berharap bisa ditiru institusi lain di bidang-bidang yang bersinggungan dengan aktivis advokasi HAM.

Para pembela HAM sebenarnya sudah dan terus membangun jaringan. Melalui jaringan ini banyak isu yang dibahas. Termasuk mendorong RUU Pembela HAM. RUU itu tidak pernah dibahas intensif walau masuk Prolegnas 2010-2014. Menurut Swandaru, ini  bentuk minimnya perhatian pemerintah dan DPR terhadap perlindungan pembela HAM.

Selain itu jaringan pembela HAM juga mengajukan gugatan ke MK terhadap UU yang dinilai membahayakan pembela HAM seperti UU Ormas, UU tentang Penodaan Agama dan sejumlah pasal dalam KUHP.

Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila, menjelaskan Komnas HAM mendorong perlindungan terhadap pembela HAM. Ia melihat pembela HAM sangat rentan terkena kekerasan dan kriminalisasi. Misalnya, seorang pembela HAM di Yogyakarta dikriminalisasi polisi karena melakukan pendampingan kepada masyarakat yang menolak pembangunan hotel dan apartemen. Alih-alih mendapat perlindungan, aparat malah mengkriminalisasi pembela HAM tersebut.

Bagi Laila, pemerintah wajib melindungi pembela HAM. Sebab, kerja-kerja yang dilakukan pembela HAM banyak membantu pemerintah. Misalnya, ketika ada masyarakat di sebuah daerah yang terkena pelanggaran HAM. Biasanya, yang pertama kali mengetahui peristiwa itu adalah pembela HAM. Karena posisi mereka tersebar di berbagai wilayah dan melakukan pendampingan kepada masyarakat.

Setelah itu, baru kasus tersebut dibawa ke berbagai lembaga negara untuk diadvokasi, termasuk ke Komnas HAM. Ironisnya, walau membantu peran pemerintah, perlindungan bagi pembela HAM masih jauh dari harapan. “Sudah sepantasnya pemerintah aktif memberi perlindungan kepada pembela HAM,” ujarnya.

Data Komnas HAM secara umum menunjukan jumlah kasus kekerasan dan kriminalisasi yang menimpa pembela HAM dari tahun 2010-2012 cenderung meningkat. Pihak yang paling banyak diadukan yaitu polisi, TNI, kelompok intoleran dan keamanan swasta.

Laila pun mengakui Komnas HAM tidak punya mekanisme khusus yang menangani perlindungan terhadap pembela HAM. Dari diskusi internal Komnas HAM ada usulan yang menyebut perlindungan itu ranah Polri dan LPSK. Namun, secara pribadi Laila lebih sepakat agar Komnas HAM punya prosedur yang menangani perlindungan untuk pembela HAM.

Pasalnya, aparat kepolisian tidak jarang menjadi pelaku terhadap kriminalisasi pembela HAM. Oleh karenanya, Laila menilai perlindungan itu tidak akan efektif dilakukan aparat kepolisian. Begitu pula dengan LPSK, baginya tidak dapat memberi perlindungan optimal kepada pembela HAM. Sebab, LPSK baru bisa melindungi jika kasus yang menimpa pembela HAM sudah masuk proses hukum. Sementara, posisi pembela HAM sangat rentan ketika melakukan pendampingan.

Atas dasar itu Laila berpendapat posisi Komnas HAM lebih tepat untuk menangani perlindungan pembela HAM. Untuk mewujudkan itu, Komnas HAM masih mencari konsep yang tepat. Apakah akan dituangkan lewat peraturan Komnas HAM atau dimasukan dalam peraturan perundang-undangan.

Direktur Penguatan HAM Kemenkumham, Agus Purwanto, mengakui pembela HAM sangat membantu pemerintah, khususnya Kemenkumham. Sebab, kerja-kerja yang dilakukan pembela HAM menyasar pada penguatan HAM di Indonesia. Hal itu berdampak positif terhadap pembangunan yang berjalan agar memperhatikan nilai-nilai HAM.

Namun, Agus menyadari dalam melaksanakan tugasnya, pembela HAM mengalami banyak tantangan. Mulai dari institusi sampai individu. Tantangan itu menurutnya juga terjadi di internal pemerintah. Misalnya, ketika Kemenkumham mendorong ratifikasi Statuta Roma, ada pihak yang tidak setuju. “Keberadaan pembela HAM itu penting bagi Indonesia,” tukasnya.

Agus menjelaskan, Kemenkumham berupaya agar setiap aparat negara mulai dari pusat sampai daerah memahami HAM. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu memasukan materi HAM dalam pendidikan dan pelatihan yang digelar Lembaga Administrasi Negara (LAN).

Dengan begitu diharapkan aparatur pemerintah mengerti apa itu HAM dan bagaimana implementasinya. Bahkan, Kemenkumham juga merancang pelatihan HAM untuk kepala daerah. “Peran kepala daerah penting untuk memajukan HAM di daerah,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait