Sinergi dan Koordinasi Berujung Supervisi
OTT Oknum Jaksa:

Sinergi dan Koordinasi Berujung Supervisi

Pelimpahan perkara OTT Jaksa Kejati bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Baca:

 

Tiga alasan

Kritik yang sama dilancarkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam keterangan tertulisnya, Kurnia Ramadhan, salah satu peneliti mengatakan jika koordinasi maupun sinergi justru berbuah supervisi perkara KPK malah ditangani kejaksaan adalah hal yang keliru. Setidaknya ada tiga argumentasi yang dapat dikemukakan.

 

Pertama, KPK adalah lembaga yang paling tepat untuk menangani kasus korupsi penegak hukum. Berdasarkan pasal 11 huruf a UU KPK, menyebutkan kewenangan KPK dalam menangani perkara yang melibatkan aparat penegak hukum. Pada operasi yang KPK, beberapa oknum yang tertangkap memiliki latar belakang sebagai Jaksa, maka KPK secara yuridis mempunyai otoritas untuk menanganinya lebih lanjut.

 

Kedua, tidak ada lembaga atau pihak manapun yang boleh mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan KPK. Undang-undang telah menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Apabila dalam penanganan perkara ada pihak yang mencoba intervensi, dapat dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum (obstruction of justice) dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.

 

Dan ketiga, penanganan perkara harus bebas dari konflik kepentingan. “Jaksa Agung sebaiknya mengurungkan niatnya untuk menangani oknum jaksa yang tertangkap oleh KPK. Sebaiknya Jaksa Agung melakukan perbaikan di internal. Karena penangkapan oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta adalah bentuk penyelematan integritas Kejaksaan di mata publik. Setidaknya, langkah KPK dapat dimaknai juga sebagai upaya bersih-bersih internal Kejaksaan dari pihak-pihak yang mencoreng martabat Kejaksaan,” pungkas Kurnia.

 

Kasus bermula ketika Sendy Perico melaporkan seseorang yang menipu dan melarikan uang investasinya sebesar Rp11 miliar. Sebelum tuntutan dibacakan, Sendy dan Alvin telah menyiapkan uang untuk diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum. Uang ini diduga ditujukan untuk memperberat tuntutan kepada pihak yang menipunya.

 

Saat proses persidangan tengah berlangsung, Sendy dan pihak yang ia tuntut memutuskan perdamaian pada 22 Mei 2019. Pihak yang ia tuntut meminta kepada Sendy agar tuntutannya hanya setahun. Alvin kemudian melakukan pendekatan kepada jaksa melalui perantara. Alvin kemudian diminta menyiapkan uang Rp200 juta dan dokumen perdamaian jika ingin tuntutannya berkurang menjadi satu tahun. Sidang akan berlangsung di Pengadilan Jakarta Barat pada 1 Juli 2019. Penyerahan uang kemudian dilakukan pada 28 Juni 2019.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait