“Utak Atik” Kewenangan Pencabutan Hak Remisi dan PB
Fokus

“Utak Atik” Kewenangan Pencabutan Hak Remisi dan PB

Pencabutan hak remisi dianggap tidak sesuai falsafah pemasyarakatan. Kewenangan pencabutan hak remisi ingin dialihkan kepada hakim.

NOV
Bacaan 2 Menit

Perubahan UU

Mantan Ketua Kamar Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko mengatakan, sebenarnya wacana Menkumham sangat progresif. Namun, ia berpendapat, tidak mudah merealisasikan wacana tersebut dalam waktu singkat. Perlu ada perubahan undang-undang sebagai cantelan bagi hakim untuk mengakomodir pidana tambahan itu dalam putusan.

Djoko menjelaskan, lembaga yudikatif memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan. Adapun klasifikasi pidana tambahan sudah diatur dalam KUHP dan UU lain yang memuat jenis pidana tambahan. Sementara, remisi merupakan memiliki sumber hukum yang berbeda, yaitu UU Pemasyarakatan.

Sesuai Pasal 10 KUHP, ada tiga jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan hakim dalam putusan pemidanaan. Pertama, pencabutan hak-hak tertentu, kedua perampasang barang-barang tertentu, dan ketiga pengumuman putusan hakim. KUHP juga mengatur beberapa macam hak terpidana yang dapat dicabut hakim.

Berdasarkan Pasal 35 KUHP, hakim dapat mencabut hak-hak terpidana, seperti hak memegang jabatan umum atau jabatan tertentu, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan, hak menjadi penasihat hukum atau pengurus, hak menjadi wali atau pengampu, serta hak untuk menjalankan mata pencaharian tertentu.

“Nah, kalau (pencabutan hak remisi/pembebasan bersyarat) mau dimasukan dalam putusan hakim, dasarnya agak sulit karena remisi kewenangan eksekutif. Jadi, saya kira semestinya UU-nya diubah dulu dan mau dimasukan di bagian mana? Kalau mau dimasukan dalam semua UU, berarti UU Tipikor, TPPU, semua harus masuk,” tuturnya.

Djoko menerangkan, ada pemisahan yang jelas antara lingkup kewenangan yudikatif dan eksekutif. Hakim menjatuhkan hukuman dalam rangka pro yustisia, sedangkan pemasyarakatan memberikan pembinaan terhadap terpidana dan bukan lagi di bawah pro yustisia. Remisi sendiri merupakan pengurangan masa hukuman.

Oleh karena itu, Djoko menilai agak sulit untuk menyatukan dua lingkup kewenangan itu dalam suatu putusan hakim. Walau begitu, ia sependapat dengan pandangan yang menyebutkan hanya hakim dan UU yang dapat mengurangi atau mencabut hak seseorang. Namun, pencabutan hak tersebut harus dilakukan berdasarkan undang-undang.

Dengan demikian, Djoko berpandangan, perubahan UU harus dilakukan terlebih dahulu supaya tidak ada hukum yang dilanggar. Revisi UU diperlukan agar hakim memiliki payung hukum untuk memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat dalam putusannya.

“Misalnya, dimasukan ke dalam UU yang mengatur kejahatan serius, sprti terorisme dan korupsi. Itu kan publik sudah tau bahwa untuk kejahatan seperti itu tidak layak diberikan remisi. Itu nanti dalam UU-nya harus jelas, tindak pidana apa saja yang diberikan remisi dan tidak. Jadi, banyak sekali perubahan UU yang harus disesuaikan,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait