Waspadai Praktik Permintaan Mahar Jelang Pilkada Serentak
Utama

Waspadai Praktik Permintaan Mahar Jelang Pilkada Serentak

Bawaslu dapat menggunakan UU Pilkada dan UU Pemberantasan Tipikor untuk menjerat pelaku.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pilkada: BAS
Ilustrasi Pilkada: BAS
Perhelatan demokrasi di tingkat daerah alias kepala daerah secara serentak bakal digelar. Ironsinya, praktik permintaan mahar dari partai pengusung terhadap calon kepala daerah masih terjadi. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga pengawasan mesti aktif menindaklanjuti laporan adanya dugaan praktik permintaan mahar.

Direktur Eksekutif  Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan pengakuan calon kepala daerah hingga berujung mengundurkan diri seperti Sebastian Salang menjadi informasi awal yang mesti ditindaklanjuti Bawaslu. Selain itu, di sejumlah daerah terjadi praktik suap dukungan seperti Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Toba Samosir.

Menurutnya, regulasi sudah memberikan ruang untuk melakukan pemidanaan terhadap pelaku yang melakukan praktik permintaan mahar Pilkada kepada calon yang didukung. UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sudah mengatur gamblang dalam Pasal 47 ayat (1) dan (6).

Ayat (1) menyebutkan, “Partai Politik  atau gabungan partai politik  dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota”. Sedangkan ayat (6) menyebutkan, “Setiap partai politik atau gabungan parati politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima”.

Bawaslu, kata Titi, beragumentasi ketiadaan pasal pidana. Akibatnya, lembaga itu sulit menjerat pelaku. Padahal dalam pasal 47 sudah gamblang dengan pidana denda 10 kali lipatd ari nilai imbalan yang diterima. Ia menilai lantaran pelakunya partai maka sanksi pidananya dengan denda. Ia menyayangkan jika Bawaslu bersifat pasif terhadap laporan awal yang terjadi di tengah masyarakat.

“Jadi Bawaslu harus meningkkatkan tensi bukan menilai adanya kekosongan hukum,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/8).

Titi berpandangan, sebagai lembaga pengawasan Pemilu, Bawaslu memiliki sejumlah kewenangan dan instrumen dalam rangka bertindak atas adanya dugaan pelanggaran. Instrumen tersebut antara lain, anggaran, personel dan aturan yang mengatur kewenangannya.

“Jadi Bawaslu harus hadir dalam persoalan ini, kita mendorong Bawaslu. Mahar ini ancaman demokrasi tata kelola bersih,” katanya.

Peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menambahkan Bawaslu dapat bergerak menggunakan dengan dua instrumen. Pertama dengan menggunakan Pasal 47 UU 8/2015 tentang Pilkada. Menurutnya, sanksi denda yang digunakan UU Pilkada disebabkan oleh partai. Dia mengatakan, tidak ada alasan Bawaslu tidak menindaklanjuti informasi masyarakat, apalagi tindak pidana suap dukungan partai bukanlah delik aduan.

Makanya, Bawaslu dapat berkoordinasi dengan lembaga lain seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinasi tersebut dalam upaya penelusuran atas informasi awal tersebut. Menurutnya, informasi dari Sebastian Salang dan calon dari Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Toba Samosir menjadi informasi yang mesti digali Bawaslu.

“Kemudian daerah-daerah lain akan mengikuti atas tindaklanjut Bawaslu,” ujarnya.

Regulasi kedua yang dapat digunakan Bawaslu adalah dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ia menilai UU Pemberantasan Tipikor dapat digunakan ketika pihak yang diberikan mahar berstatus penyelenggara negara. Bukan menjadi rahasia, pengurus partai merupakan pejabat daerah, misalnya anggota DPRD.

“Kalau aktornya demikian, maka bisa dikenakan Pasal 12 huruf E, karena subjeknya adalah penyelenggara negara,” ujarnya.

Ia menilai dengan kedua instrumen UU tersebut, Bawaslu dapat bergerak menindaklanjuti adanya dugaan suap dukungan partai terhadap calon. Namun penelusuran tersebut merupakan pintu awal. Soalnya, pada tahap kampanye perhitungan suara  ditengarai adanya praktik suap.

“Bawaslu sebagai entitas lembaga, dan bukan sebagai penghimbau saja, tapi instrummen. Merea bisa bekerja dengan PPATK dan KPK,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia, Sebastian Salang, mengaku sempat dimintakan mahar oleh beberapa partai pendukungnya saat maju dalam pencalonan Pilkada. Setelah berpikir panjang, permintaan mahar tersebut tidak diladeni. Ia menilai melakukan transaksional di tahap pencalonan, bakal menjadi godaan pada tahap berikutnya.

Mulai pemilihan hingga perhitungan suara. Sebastian mengatakan terdapat beberapa partai meminta mahar kepada dirinya sebesar Rp3 miliar.“Kesimpulan saya, terkait semrawut ini semua karena adanya mahar. Parpol itu ramai-ramai berebut incumbent dan pasti punya uang. Kalau mau cari jalan keluar, parpol dulu yang diberesin,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait