DPR Setujui RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Berita

DPR Setujui RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

Sanksi ditambah sepertiga jika pelaku diskriminasi adalah korporasi. Diyakini menimbulkan efek jera.

CRF
Bacaan 2 Menit
DPR Setujui RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Hukumonline

 

Kehadiran UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis memang sudah lama ditunggu. Sejak sepuluh tahun silam, gagasan membuat UU yang mengatur penghapusan diskriminasi muncul. Faktanya, sejak 1999 Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras. Ratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination dituangkan ke dalam UU No. 29 Tahun 1999.

 

Pada periode keanggotaan Dewan 1999-2004, gagasan tersebut mulai dituangkan ke dalam penyusunan RUU. Lantaran pergantian kepemimpinan nasional, pembahasan RUU –yang kala itu disebut RUU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis—mandeg. Barulah pada September 2005, DPR menyetujui RUU ini dimasukkan sebagai usul inisiatif. Sejak saat itu, pembahasan RUU dilanjutkan dengan berbagai perubahan dan dinamikanya.

 

Dalam UU ini, ada tujuh materi pokok yang mengalami pembahasan dan diskusi secara mendalam. Berkaitan dengan perubahan judul, yang pada awalnya tentang anti diskriminasi menjadi penghapusan diskriminasi. Kata anti mengandung makna hanya berupa gagasan yang tidak ada action atau tindakan nyatauntuk menghapuskan tindakan diskriminasi. Sementara kata penghapusan dianggap ada lanjutan tindak nyata untuk menghapuskan tindakan diskriminasi.

 

Dalam definisi etnis pada ketentuan umum, kata agama dihilangkan, karena agama bersifat universal yang berbeda dengan penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan dan sebagainya. Dalam definisi Ras, pada draft awal penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik,kemudian untuk menambah kepastian hukum ditambah dengan garis keturunan. Ketentuan ini dibuat agar tidak terjadi tumpang tindih dengan definisi etnis yang juga diatur dalam ketentuan umum.

 

Kebebasan 'hakiki merupakan kebebasan yang tanpa batas, hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pasal 28 j UUD 1945. hasilnya, kebebasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan tanpa batas, karena itu kebebasan dibolehkan sepanjang tidak mengganggu kerukunan nasional, ketentraman, dan ketertiban serta tidak melanggar UU. Terdapatnya perbedaan pendapat dari fraksi-fraksi mengenai pemidanaan, apakah ingin menggunakan Pidana Minimum Khusus atau pidana maksimal. Akhirnya Pansus menyepakati untuk memberikan pidana tambahan yaitu pidana pemberatan sebesar 1/3 untuk setiap pidana sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Selain pemberatan pidana, juga diatur mengenai pidana tambahan berupa restitusi atau pemulihan hak korban. Sementara itu jika pelakunya adalah korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda, dan ditambah dengan pemberatan tiga kali dari pidana yang dilakukan oleh perseorangan.

 

Dalam ketentuan penutup ditambah penjelasan pasal mengenai beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak diskriminasi ras dan etnis. Pencantuman ini dimaksudkan agar penegak hukum memahami sepenuhnya kaitan RUU ini dengan UU yang telah ada sebelumnya.

 

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Murdaya Widyawimarta mengatakan bahwa sanksi sangat diperlukan dalam mengimplementasikan UU ini. Jika tidak adanya sanksi, manfaat UU ini akan terasa kurang. Bahkan, untuk lebih menimbulkan efek jera, dalam UU ini dirumuskan pemberatan sanksi terhadap korporasi lebih berat ketimbang perseorangan.

 

Dalam Pasal 21 RUU ini, disebutkan bahwa pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda yang dimaksud dalam pasal 16 dan 17, yakni denda paling banyak Rp500 juta rupiah. korporasi yang dimaksud diatas adalah pengurus atau ketua dari korporasi.

Dewan Perwakilan Rakyat memberikan kado penting bagi semangat persatuan dan kebersaamn dalam Sumpah Pemuda. Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008 kemarin, DPR menyetujui RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menjadi undang-undang. Tinggal menunggu tanda tangan Presiden, Undang-Undang ini akan diberi nomor dan dinyatakan berlaku.

 

Keputusan DPR menyetujui RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis disambut baik Pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta menegaskan praktik diskriminasi selama ini telah menjadi batu sandungan dalam kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia. Diskriminasi ras dan etnis mengandung bibit permusuhan dan kebencian, yang menjadi hambatan dalam hubungan hidup berdampingan, bersahabat, damai, tertib dan harmonis. Lebih luas lagi, diskriminasi berpotensi mengganggu hubungan antar negara.

 

Menurut Andi Matalatta, Undang-Undang ini bisa mendorong Pemerintah untuk senantiasa melindungi warga negara, sekaligus berbuat adil dengan mempersamakan kedudukan, harkat dan martabat setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. UU ini juga memberikan landasan hukum bagi Komnas HAM untuk mengawal dan mengawasi praktik diskriminasi ras dan etnis.

Tags: