Pemohon Praperadilan Persoalkan Alasan Terbitnya SP3 Kasus VLCC
Berita

Pemohon Praperadilan Persoalkan Alasan Terbitnya SP3 Kasus VLCC

Pemohon praperadilan menilai penghentian penyidikan dianggap tidak sah karena BPK bukannya tidak dapat menentukan kerugian negara, melainkan belum dapat menentukan kerugian negara.

Nov/Rfq
Bacaan 2 Menit
Pemohon Praperadilan Persoalkan Alasan Terbitnya SP3 Kasus VLCC
Hukumonline

 

Tapi, alasan itu tidak begitu saja diterima. Sejumlah kalangan, di antaranya Indonesia Corruption Watch sempat mendesak Kejagung untuk menyewa lembaga appraisal independen atau menyerahkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan kini, MAKI menempuh upaya hukum dengan mempraperadilankan SP3 VLCC.

 

Dengan mengatasnamakan MAKI, Boyamin Saiman (koordinator MAKI) dan Supriyadi (pendiri MAKI) mendaftarkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 13 Agustus lalu. Dalam permohonannya, MAKI menganggap lembaganya adalah pihak ketiga berkepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 80 KUHAP. Legal standing MAKI ini diperkuat pula dengan adanya Putusan Mahkamah Agung (MA) RI Nomor 4-PK/Pid/2000 tanggal 28 November 2001. Dimana, dalam putusan tersebut MAKI sebagai pemohon dinyatakan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk memohonkan praperadilan atas dihentikannya penyidikan secara tidak sah dan melawan hukum.

 

Seperti penghentian penyidikan dalam kasus VLCC ini. MAKI menganggap Kejagung mengeluarkan SP3 secara tidak sah dan melawan hukum. Karena, sesuai ketentuan Pasal 109 KUHAP, penghentian penyidikan dapat dilakukan apabila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukanlah merupakan tindak pidana. Tapi, alasan ini dinilai tidak muncul dalam penghentian penyidikan kasus VLCC.

 

Namun, Kejagung yang diwakili Wisnu Baroto, dalam tanggapannya menampik SP3 dikeluarkan secara tidak sah dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 109 KUHAP. Pasalnya, Surat penghentian penyidikan Nomor: Print-01/F.2/Fd.1/02/2009 tanggal 6 Februari 2009 itu diterbitkan karena penyidik tidak menemukan cukup bukti. Walau Kejagung telah meminta bantuan BPK untuk menghitung kerugian negara, tetapi BPK ternyata tidak dapat menentukan adanya kerugian dalam kasus penjualan kapal Tanker VLCC ini.

 

Dalam surat BPK RI Nomor: 94/R/S/I-XX/09/2008 tanggal 26 September 2008, BPK menyatakan tidak dapat melakukan penghitungan kerugian negara atas divestasi dua unit kapal Tanker VLCC PT Pertamina. BPK berdalih, penghitungan kerugian negara atas transaksi penjualan VLCC ini tidak dapat dilakukan sesuai dengan metode dan prosedur penghitungan yang diterapkan BPK. Terlebih lagi, BPK memang tidak berwenang dan berkompeten untuk menilai dan menetapkan harga pasar yang wajar.

 

Tidak hanya itu, putusan majelis Peninjauan Kembali (PK) atas perkara penjualan VLCC juga dijadikan pertimbangan penyidik untuk mengeluarkan SP3. Putusan Mahkamah Agung bernomor 01/PK/Pdt.Sus/2007 tanggal 12 Mei 2008 itu telah menganulir putusan MA Nomor: 04/K/KPPU/2005 tanggal 29 November 2005 dan KPPU Nomor: 07/KPPU-L/2004 tanggal 3 Maret 2005 yang menyatakan bahwa penjualan Tanker VLCC melanggar UU Anti Monopoli. Sehingga, berpotensi merugikan negara sekitar AS$20 juta hingga AS$56 juta.

 

Alih-alih merugikan negara. Majelis PK, dalam pertimbangannya malah menyatakan ada keuntungan negara. Penunjukan Frontliner Ltd sebagai pemenang dalam pembelian Tanker VLCC tidak merugikan negara, tetapi menguntungkan negara sebesar AS$54 juta. Atas dasar ini, Kejagung berpendapat unsur kerugian negara tidak terpenuhi. Dan sesuai dengan ketentuan Pasal 109 KUHAP, apabila tidak tedapat cukup bukti, penyidikan dapat dihentikan.

 

Rekomendasi BPK

Tapi, MAKI bersikeras SP3 yang dikeluarkan Kejagung tidak sah, karena sampai saat ini BPK belum dapat menentukan adanya kerugian negara. Jadi, BPK bukan menyatakan tidak ada kerugian negara, kata Boyamin.

 

Memang, BPK dalam siaran persnya pertengahan Februari lalu, dan surat BPK RI Nomor: 94/R/S/I-XX/09/2008 tanggal 26 September 2008 hanya menyatakan tidak berwenang dan berkompeten untuk menetapkan harga pasar yang wajar, karena kedudukannya hanya sebagai lembaga audit. Namun, tidak menyatakan bahwa dalam kasus VLCC ini tidak ada kerugian negara.

 

Dan untuk membantu menilai harga pasar yang wajar, BPK sempat merekomendasikan Kejagung untuk menyewa lembaga appraisal (penilai aset) yang kompeten. Sehingga, dapat dijadikan dasar untuk menentukan apakah ada kerugian negara atau tidak. Namun, tidak diketahui apakah rekomendasi BPK ini ditindaklanjuti oleh Kejagung. Yang pasti, 6 Februari 2009 Kejagung malah mengeluarkan SP3. 

Masih teringat, awal Februari lalu Kejaksaan Agung (Kejagung) menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi penjualan kapal Tanker Very Large Crude Carrier (VLCC). Dimana, Laksamana Sukardi ditetapkan sebagai tersangka.

 

Ketika itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan pihaknya telah melakukan ekspos bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasilnya, BPK ternyata tidak menemukan adanya unsur kerugian negara, sehingga diterbitkanlah SP3 oleh Kejagung. Padahal, sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutuskan bahwa terdapat potensi kerugian negara sekitar AS$20 hingga AS$56 juta akibat penjualan Tanker VLCC.

 

Walau begitu, Hendarman tetap meyakini bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum dalam kasus yang melibatkan mantan Menteri Negara BUMN era Megawati ini. Namun, hanya sebatas pelanggaran administratif dan bukan pidana.

Halaman Selanjutnya:
Tags: