Tanpa Jaminan Hukum, Komisaris BNI Tolak Jelaskan Soal Pembobolan
Utama

Tanpa Jaminan Hukum, Komisaris BNI Tolak Jelaskan Soal Pembobolan

Usaha anggota komisi IX DPR mengorek hasil pemeriksaan yang dilakukan komisaris Bank Nasional Indonesia untuk mengungkap skandal L/C fiktif sebesar Rp1,7 triliun kandas. Pasalnya, para komisaris meminta jaminan hukum para anggota dewan sebelum mengungkapkan hasil temuannya.

Tri
Bacaan 2 Menit
Tanpa Jaminan Hukum, Komisaris BNI Tolak Jelaskan Soal Pembobolan
Hukumonline
Saya minta izin dan jaminan hukum dahulu dari para anggota dewan sebelum saya merinci semua hasil pemeriksaan kami. Masalahnya, ini bahan rapat umum pemegang saham (RUPS). Saya takut kena sanksi Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Pasar Modal," papar Zaki Baridwan, Komisaris Utama BNI menanggapi permintaan anggota dewan yang meminta perincian hasil pemeriksaan komisaris.

Bentuk Panja

Dalam rapat dengar pendapat dengan jajaran direksi dan komisaris BNI dan BRI serta direktur pengawasan Bank Indonesia (BI), para anggota komisi IX menghendaki dibentuknya Panitia Kerja (Panja). Menurut Faisal, pembentukan Panja bertujuan untuk mencari tahu penyebab pembobolan terhadap dua bank pelat merah ini.

Sebelumnya, sempat terjadi perdebatan di kalangan intern Komisi IX, karena sebagian anggota komisi IX menghendaki dibentuknya Panitia Khusus (Pansus), bukan panja. Tapi, menurut  Ali Masykur Musa, pembentukan panja lebih fleksibel dibandingkan dengan pansus. "Saya kira lebih baik dibuat panja, apalagi antara panja dan pansus kewenangannya sama saja," ujar Masykur, yang juga wakil ketua Komisi IX ini.

Rapat dengar pendapat yang dilakukan komisi IX DPR kali ini, merupakan lanjutan dari rapat dengar pendapat dengan jajaran direksi BNI dan BRI sebelumnya (Senin, 8/12). Para anggota Komisi IX merasa perlu mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi atas dua kasus pembobolan yang terjadi di BNI sebesar Rp1,7 triliun dan BRI sebesar Rp294 miliar.

Sedangkan Direktur Utama BRI, Rudjito menolak dianggap melecehkan komisi IX karena tidak mengungkapkan sejak awal pembobolan yang terjadi di BRI. Menurut dia, BRI melakukan rapat dengar pendapat terakhir dengan komisi IX pada 2 September 2003, sedangkan kasus itu sendiri baru terungkap pada 20 September 2003.

"Tapi karena waktu itu kami akan melakukan go public maka kami harus memaparkan kasus itu di prospektus dan melaporkannya kepada Bapepam, BI dan Kejaksaan," tutur Rudjito.

Sementara itu, Direktur BNI Saefuddin Hasan yang rencananya akan diperiksa Mabes Polri terkait dengan L/C fiktif, mengaku akan membantu dan mendukung proses pemeriksaan. "Kalau saya dipanggil saya akan membantu. tapi saya akan check dulu soal panggilan tersebut," ucap Saefuddin. 

Namun secara umum Zaki memaparkan, terjadi skandal L/C fiktif yang menyebabkan BNI kebobolan Rp1,7 triliun karena adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan prosedur. Akibatnya, kontrol internal yang ada di intern cabang, kemudian di wilayah, dan sampai pada divisi di kantor pusat tidak berjalan.

"Kalau saja prosedur dilakukan mengikuti buku panduan perusahaan, maka hal ini tidak akan terjadi. Dan kalaupun terjadi, maka kasus ini dapat diketahui pada waktunya," ujar Zaki tanpa menjelaskan lebih lanjut berbagai prosedur yang dilanggar secara terperinci.

Tapi Zaki berjanji, pihaknya akan memaparkan secara terperinci hasil penyelidikan komisaris setelah RUPS BNI pada 15 Desember 2003 mendatang. "Saya akan adakan jumpa pers setelah RUPS," tutur Zaki yang pernah menjadi Direktur Program Pasca Sarjana UGM ini.

Atas keberatan Zaki memaparkan hasil temuan para komisaris BNI atas skandal L/C fiktif sebelum ada jaminan hukum, para anggota komisi IX dapat memahaminya. "Kami dapat memahami kendala anda," papar Faisal Baasri, wakil ketua Komisi IX yang memimpin rapat dengan pendapat komisi IX dengan BNI dan BRI.

Halaman Selanjutnya:
Tags: