Para pemohon yang tergabung dalam ASPPAT memang mengkhawatirkan jika pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Daerah dilaksanakan, maka akan menimbulkan ketidakpastian. Minimal, ketidakpastian mengenai status PPAT dan kelanjutan eksistensi PPAT sebagai pejabat tingkat nasional. Selain itu juga mempengaruhi kelanjutan eksistensi tanah nasional sendiri yang merupakan dasar pelaksanaan tugas dan fungsi PPAT.
Tetapi dalam petitumnya Mahkamah Konstitusi menilai kekhawatiran ASPPAT masih terlalu prematur. Kepentingan para pemohon tidak dirugikan oleh pasal 11 ayat (2) karena permohonan para pemohon hanya didasarkan atas kekhawatiran yang masih prematur, urai majelis dalam keputusan atas perkara No. 009 itu.
Para pemohon sendiri tampaknya ikhlas menerima keputusan MK. Sebab, dalam kenyataannya pelimpahan kewenangan pertanahan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang belum menjadi kenyataan. Pelimpahan kewenangan itu memang belum terlaksana, ujar Profesor Boedi Harsono kepada hukumonline, Guru Besar dan pakar pertanahan itu memang menjadi kuasa ASPPAT.
Masukan bagi revisi UU Pemda
Selain itu, Pemerintah dan DPR sudah sepakat melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 22/1999, termasuk pasal 11 ayat (2) yang menjadi fokus permohonan judicial review. Meskipun permohonan ASPPAT dinyatakan tidak dapat diterima, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa materi permohonan layak mendapat perhatian dari tim revisi Undang-Undang tersebut.
Dalam permohonannya, ASPPAT memang menilai pasal 11 ayat (2) mengenai penyerahan kewenangan bidang pertanahan ke Pemda Kabupaten atau Kota bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD'45, khususnya pasal 33 ayat (3). Pelimpahan kewenangan itu dianggap melanggar hak konstitusional para pemohon yang berprofesi sebagai PPAT.
Undang-Undang No. 22/1999 mulai berlaku efektif dua tahun kemudian, yaitu sejak 1 Januari 2001. Namun dalam kenyataannya, belum semua aturan Undang-Undang tersebut terlaksana, termasuk pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan. Sejatinya, pelimpahan kewenangan itu harus disertai pula pengalihan pembiayaan, personalia, peralatan dan dokumen pertanahan namun kenyataannya itutidak dilakukan.
Patut dicatat pula bahwa Presiden Megawati telah menerbitkan Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Berdasarkan pasal 2 Keppres ini hanya sebagian kewenangan di bidang pertanahan yang dilimpahkan ke pemerintah daerah. Misalnya, pemberian izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan penyelesaian sengketa tanah garapan.
Lagipula, sesuai perkembangan pembahasan revisi Undang-Undang No. 22/1999, gagasan untuk menarik kembali kewenangan di bidang pertanahan ke pusat sudah ada. Paling tidak muncul dari saran yang diajukan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lutfi Nasution. Saat dimintai pandangan oleh tim revisi, Lutfi menyarankan agar bidang pertanahan tidak termasuk dalam urusan yang diserahkan kepada daerah.
Dalam keputusannya yang diucapkan Jum'at (26/03), Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (ASPPAT) tidak dapat diterima. Dengan sendirinya judicial review yang diajukan ASPPAT terhadap pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak berhasil.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa dalam praktek pelimpahan wewenang pertanahan ke Pemda –sebagaimana dituangkan dalam pasal 11 ayat (2) tadi-- tidak menimbulkan pengaruh langsung kepada para pemohon. Sebab, tidak terjadi perubahan sama sekali dalam hukum pertanahan khususnya yang berkaitan dengan kepentingan para pemohon selaku pejabat pembuat akta tanah (PPAT).