PN Jaksel Nyatakan SKPP Bibit-Chandra Tidak Sah
Utama

PN Jaksel Nyatakan SKPP Bibit-Chandra Tidak Sah

Ekstremnya, hakim menilai tindakan Kejaksaan menghentikan penuntutan kasus Bibit-Chandra adalah perbuatan melawan hukum.

Rfq
Bacaan 2 Menit
Bonaran Situmeang sumringah seraya menyalami tim kuasa hukum<br>termohon, seusai pembacaan putusan. Foto: Sgp
Bonaran Situmeang sumringah seraya menyalami tim kuasa hukum<br>termohon, seusai pembacaan putusan. Foto: Sgp

Saat ini, Anggodo Widjojo mungkin sedang sumringah di sel tahanan LP Cipinang. Pasalnya, kabar baik berhembus dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan praperadilan adik dari tersangka kasus korupsi PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo ini dikabulkan oleh hakim tunggal Nugraha Setiadji, Senin (19/4). Sidang perdana permohonan ini digelar tepat seminggu silam.

 

Dalam permohonan, Anggodo mempersoalkan terbitnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh pihak kejaksaan. Menurut Anggodo, kejaksaan sebenarnya memiliki cukup alasan untuk meneruskan kasus Bibit-Chandra diteruskan ke pengadilan. Apalagi jaksa sudah menyatakan berkas lengkap (P-21).

 

“Menolak eksepsi Termohon I (Kejaksaan Agung cq Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta cq Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan) mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Memerintahkan Termohon I melimpahkan berkas Chandra dan Bibit ke pengadilan,” ujar Nugraha saat membacakan amar putusan.

 

Dalam pertimbangannya, Nugraha menilai eksepsi Termohon I yang menyatakan pemohon seharusnya menyertakan pemerintah sebagai termohon tidak tepat. Walaupun berkedudukan sebagai pemerintah, menurutnya, kejaksaan dalam proses penuntutan merupakan bagian dari Integrated Justice System. Untuk itu, Nugraha menyimpulkan tindakan pemohon tidak menyertakan pemerintah sudah tepat.

 

Kedudukan Anggodo sebagai pemohon juga sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 80 KUHAP. Anggodo, urai Nugraha, adalah korban. Bermula dari perkara yang melibatkan sang kakak, Anggoro Widjojo, Anggodo menyetorkan uang sebesar Rp5,1 miliar kepada Ary Muladi yang berjanji akan meneruskan ke pejabat di KPK. Nugraha juga mengutip keterangan ahli OC Kaligis bahwa Anggodo adalah bagian dari korban tindak pidana korupsi.

 

“Tidak benar dalam tindak pidana korupsi tidak ada saksi dan korban. Yang jelas korbannya yaitu yang diperas,” tukasnya. Dengan pertimbangan tersebut, Nugraha menyatakan  pemohon bisa dikualifikasikan sebagai pihak ketiga berkepentingan terkait penerbitan SKPP. Untuk memperkuat pertimbangannya, Nugraha merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung No 4/PK/Pid/2001 bahwa pihak ketiga tidak terbatas pada saksi dan korban tetapi juga manusia pribadi maupun badan hukum.

 

Terkait materi perkara, Nugraha berpendapat penghentian penuntutan kasus Bibit-Chandra tidak tepat. Seharusnya penghentian penuntutan dilakukan dengan alasan nebis in idem, terdakwa meninggal, atau perkara telah kadaluarsa. Tetapi, Kejaksaan malah menggunakan Pasal 50 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum”. Penerapan Pasal 50, menurut Nugraha, seharusnya menjadi wewenang hakim, bukan kejaksaan.

Tags: