Dirut SCTV Akan Dipanggil Komnas HAM
Berita

Dirut SCTV Akan Dipanggil Komnas HAM

Terkait pengalihan status karyawan tetapnya menjadi pekerja outsourcing.

Ady
Bacaan 2 Menit
Komnas HAM panggil Dirut SCTV. Foto: ilustrasi (Sgp)
Komnas HAM panggil Dirut SCTV. Foto: ilustrasi (Sgp)

Perusahaan media tidak terlepas dari masalah ketenagakerjaan. Belum usai perkara pekerja Metro TV, Indonesia Finance Today dan kantor berita Reuters di Jakarta, kini muncul persoalan ketenagakerjaan di perusahaan media Surya Citra Televisi (SCTV). Sebanyak 42 pekerja SCTV yang menolak dialihkan statusnya dari pekerja tetap menjadi outsourcing telah mengadukan nasibnya ke Komnas HAM, Jakarta. Aduan mereka diterima secara langsung oleh komisioner Komnas HAM, Nur Kholis.

Berdasarkan penjelasan dari para pekerja, Nur Kholis sementara menyimpulkan bahwa 42 pekerja SCTV yang mengadu ke Komnas HAM kurang mendapat keadilan. "Komnas HAM memutuskan akan memanggil Direktur Utama SCTV senin pekan depan," kata Nur Kholis usai menerima pengaduan 42 pekerja SCTV di gedung Komnas HAM, Jakarta, Selasa (19/6).

Dalam pengaduannya, salah seorang pekerja, Soedirman, menjelaskan ada sekitar 150 pekerja di bagian umum yang direncanakan akan dialihkan statusnya menjadi pekerja outsourcing. Sebanyak 42 orang menolak pengalihan itu dan menuntut tetap bekerja dengan status pekerja tetap, sedangkan sisanya menerima tawaran pihak manajemen.

Sejak menyatakan penolakan itu, Soedirman melanjutkan, pekerja mendapat intimidasi dan bahkan dilarang bekerja. Mereka juga tidak mendapat akses seperti yang selama ini diperoleh. Seperti tunjangan kesehatan, akses parkir dan lainnya.

Kemudian manajemen melayangkan surat skorsing pada 31 Mei 2012. Namun, penyampaian surat skorsing itu menurut Soedirman tidak dilakukan secara layak. Hanya 10 orang yang menerima surat, itu pun tidak secara langsung. Selebihnya bahkan tidak menerima surat tersebut.

Soedirman dan beberapa pekerja sempat bertanya kepada manajemen tentang surat skorsing itu. Namun tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari pihak manajemen. Soedirman merasa surat itu diterbitkan tanpa melalui mekanisme hukum ketenagakerjaan.

Anggota tim kuasa hukum pekerja dari LBH Aspek Indonesia, Singgih D Atmadja, mengatakan kebijakan yang diambil manajemen terhadap Soedirman dkk tidak berlandaskan aturan hukum yang jelas. Pasalnya, surat skorsing diterbitkan begitu saja tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mengenai rencana pengalihan dari pekerja tetap ke outsourcing, bagi Singgih hal itu hanya dapat dilakukan untuk memindahkan seorang pekerja outsourcing ke perusahaan outsourcing lain. Namun jika status pekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), Singgih menyebut pengalihan itu tidak dapat dilakukan jika pekerja menolaknya.

Singgih mengingatkan bahwa dalam mengadakan perjanjian, salah satu pihak berhak untuk menolak atau tidak sepakat atas apa yang diperjanjikan. Ketika ada yang menolak, menurut Singgih tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan. "Tapi kenapa pekerja malah diberi sanksi skorsing," ujar Singgih.

Senada, anggota advokasi lainnya, Ahmad Fauzi, menduga ada pelanggaran HAM yang diterima Soedirman dkk. Yaitu hak untuk bekerja dan mendapat penghidupan yang layak. Pasalnya, jika beralih status outsourcing pekerja cenderung dirugikan, mengingat para pekerja sudah menjalani masa kerja yang cukup lama di SCTV. Selain itu Soedirman dkk, saat ini menurut Fauzi tidak dapat bekerja dan mendapat tunjangan seperti yang biasa diterima.

Terkait aturan mengenai outsourcing, Fauzi menyebut sebagaimana Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing adalah jenis pekerjaan borongan. Mekanisme perekrutan tenaga outsourcing menurut Fauzi tidak dapat berlangsung pada saat pekerja sudah bekerja, seperti yang dialami oleh Soedirman dkk. Tapi, proses perekrutan itu dilakukan di masa awal, sebelum pekerja menjalankan pekerjaannya.

Fauzi juga menyayangkan skorsing yang dijatuhkan kepada Soedirman dkk. Menurutnya, dalam menerbitkan surat skorsing harus ada prosedur yang harus dileewati sebagaimana yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Salah satunya Pasal 161 UU Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan itu Fauzi mengatakan sebelum dijatuhkan skorsing, pihak manajemen harus memberi alasan yang jelas. Misalnya si pekerja melakukan kesalahan, sehingga diterbitkan surat peringatan (SP). Setelah itu barulah skorsing dapat diterbitkan.

Terpisah, pengajar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, Yogo Pamungkas, mengatakan sanksi tidak dapat dijatuhkan kepada pekerja yang tidak melakukan kesalahan. Dalam hal ini, skorsing dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk sanksi. “Tidak ada sanksi tanpa kesalahan,” kata Yogo kepada hukumonline lewat telepon, Selasa (19/6).

Jika manajemen ingin mengalihkan status pekerja menjadi pekerja outsourcing, Yogo mengatakan harus melewati mekanisme PHK terlebih dulu sesuai peraturan perundang-undangan. Kemudian, barulah pekerja dapat direkrut kembali lewat pihak ketiga atau outsourcing. Sehingga hubungan kerjanya yang baru yaitu antara pekerja dan perusahan outsourcing.

Menilik perkara Soedirman dkk, Yogo berpendapat pihak pekerja dapat melakukan upaya hukum lewat pencatatan perselisihan hak di Disnakertrans. Perselisihan hak menurut Yogo muncul ketika ada hak dari salah satu pihak yang tidak terpenuhi. Dalam hal ini pekerja memiliki hak untuk bekerja dan lainnya.

Sampai berita ini dibuat, pihak manajemen SCTV belum dapat dimintai keterangannya. Upaya menghubungi bagian HRD, Fauzan Muslim, lewat telepon dan pesan singkat, tak membuahkan hasil.

Tags: