Pakar Pertanyakan Status Hukum Keuangan OJK
Utama

Pakar Pertanyakan Status Hukum Keuangan OJK

Sumber pendanaan dari APBN dinilai berpotensi mempengaruhi independensi OJK.

FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Logo Otoritas Jasa Keuangan. Foto: SGP
Logo Otoritas Jasa Keuangan. Foto: SGP

Anggaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan pungutan dari penyelenggara jasa keuangan dinilai sebagai ketidakjelasan status hukum keuangan otoritas tersebut. Hal itu dikatakan oleh Guru Besar Hukum Keuangan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Arifin P Soeria Atmadja, dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (23/4).

Menurutnya, ketidakjelasan status keuangan OJK terletak pada penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pasal tersebut mengamanatkan pembiayaan OJK mandiri berasal dari pungutan penyelenggara jasa keuangan, sedangkan pembiayaan dari APBN dibutuhkan hanya pada saat pungutan yang dilakukan tidak memenuhi pembiayaan operasional OJK.

“Di lain pihak, dia (OJK) adalah suatu lembaga yang masih menggunakan APBN. Kalau dia independen, seharusnya dia berbadan hukum sendiri, jadi uang yang masuk ke sana adalah merupakan keuangan OJK, bukan lagi keuangan negara,” tutur Arifin.

Menurut Arifin, jika OJK tidak diklasifikasikan sebagai badan hukum dan juga tak dipertegas sebagai lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, maka perlu ditelaah status hukum keuangan pungutan OJK terhadap penyelenggara jasa keuangan. Dilihat dari UU-nya, OJK dapat menerima, mengelola dan mengadministrasikan pungutan tersebut tanpa menyetorkan terlebih dahulu sesuai dengan asas kas.

Namun, jika pungutan jasa keuangan tersebut terdapat kelebihan anggaran, OJK menyetorkannya ke kas negara. “Jika di Indonesia dianut pola pengelolaan keuangan yang umum dan khusus dalam bentuk Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), maka dengan ditetapkannya UU No. 21 Tahun 2011 terdapat pola pengelolaan khusus keuangan OJK (PK-OJK),” ujar Arifin.

Ia juga mengkritik laporan keuangan tahunan OJK yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (8) UU OJK. Menurut Arifin, pasal tersebut menyatakan bahwa laporan keuangan tahunan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau akuntan publik yang ditunjuk BPK.

Arifin menilai ketentuan ini sarat dengan konflik kepentingan karena laporan keuangan BPK juga diperiksa oleh akuntan publik. Hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK. “Jika pungutan yang dilakukan OJK merupakan penerimaan OJK, mengapa pemeriksaan tidak langsung dilakukan akuntan publik yang kemudian hasilnya disampaikan ke DPR dan BPK,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait