PRT Rentan Terjebak Modus Perdagangan Orang
Berita

PRT Rentan Terjebak Modus Perdagangan Orang

Karena minim informasi dan pengetahuan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Minimnya informasi dan pengetahuan membuat masyarakat, terutama yang hendak bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) kerap terjebak dalam modus perdagangan orang. Mereka seolah tak mendapat perlindungan hukum.

Pengalaman nahas pernah dialami Umirotun. PRT asal Brebes, Jawa Tengah ini semula dijanjikan bekerja sebagai PRT secara langsung di rumah majikan dan tidak ada potongan gaji. Dengan bujuk rayu calo, Umirotun setuju menjadi PRT dan diantar ke daerah  Tangerang Selatan. Sesampainya di sana, Umirotun menyadari apa yang dijanjikan calo itu tidak sesuai. Sebab ia tidak langsung diajak ke rumah majikan, melainkan dibawa ke sebuah perusahaan penyalur PRT.

Di perusahaan penyalur, Umirotun ditempatkan di sebuah ruang asrama yang dijejali puluhan orang calon PRT. Asrama itu merupakan tempat tinggal sementara bagi PRT sampai ada majikan yang mau mempekerjakannya. Di asrama itu, Umirotun beserta puluhan rekannya tidak diperkenankan keluar wilayah asrama. Setelah mendapat majikan, Umirotun menandatangani kontrak kerja yang disodorkan perusahaan penyalur. Dalam kontrak kerja tertulis Umirotun akan bekerja selama 8 jam sehari sebagai PRT yang bertugas membersihkan rumah.

Ketika disalurkan dan bekerja di rumah majikan di Bandung, Umirotun merasa apa yang dikerjakan tidak sesuai dengan kontrak kerja yang ditandatanganinya dengan perusahaan penyalur. Misalnya, ia harus bekerja setap hari paling sedikit lima belas jam dan pekerjaan yang dilakukan bukan bersih-bersih rumah tapi mengasuh anak majikan berumur dua tahun. “Dalam perjanjian kerja tertulis saya bertugas bersih-bersih rumah, tapi di Bandung (rumah majikan,-red) saya mengurus anak majikan dari jam 5 pagi sampe 10 malam kadang juga lebih,” katanya saat jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Selasa (11/3).

Selama sepuluh hari bekerja, Umirotun tidak betah dan menghubungi perusahaan penyalur untuk dipulangkan. Namun, perusahaan penyalur mempersulit Umirotun untuk melaksanakan keinginannya itu. Sebab, Umirotun mengaku harus membayar uang sebesar dua kali upahnya sebulan atau sekitar Rp2,5 juta jika mengundurkan diri dari pekerjaan. Padahal, selama bekerja di rumah majikan, Umirotun tidak digaji.

Pihak perusahaan menahan gaji Umirotun di bulan pertama dan berdalih akan mengembalikannya akhir tahun. Karena tidak punya uang untuk membayar denda itu, untuk sementara perusahaan penyalur menempatkan Umirotun di sebuah asrama. Setelah dibantu keluarganya untuk mendapat utang, Umirotun berhasil membayar uang tebusan sebesar Rp2,5 juta itu dan kembali ke kampung halaman.

Pengacara publik LBH Jakarta, Johannes Gea, mensinyalir Umirotun terjerat modus perdagangan orang. Sebab, ada tindak penyekapan dan penjeratan utang yang dilakukan perusahaan penyalur terhadap Umirotun. Penjeratan utang itu dapat dilihat dari uang denda sebesar Rp2,5 juta. Menurutnya, perusahaan penyalur yang berlokasi di Bintaro, Tangerang Selatan itu beberapa waktu lalu sudah digrebek aparat Kepolisian Tangerang Selatan.

Dalam penggerebekan yang terjadi Oktober 2013 itu ditemukan 88 PRT disekap di asrama seperti yang dialami Umirotun. Pihak kepolisian pun berdalih bos perusahaan itu sudah dijebloskan ke penjara. Namun Johannes menyayangkan pimpinan perusahaan penyalur tidak dijatuhi sanksi berat. Menurutnya aparat hanya menggunakan sanksi pidana yang ada dalam UU tentang Perlindungan Anak yaitu mempekerjakan anak di bawah umur.

Padahal, Johannes menilai harusnya perusahaan penyalur itu dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam ketentuan itu jika pelaku perdagangan orang adalah perusahaan maka selain pengurusnya dikenakan sanksi pidana penjara dan denda juga dapat dikenakan pidana tambahan. Seperti pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus dan/atau pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.

Untuk menindaklanjuti kasus yang dihadapi Umirotun, Johannes mengatakan LBH Jakarta dan JALA-PRT akan mendesak aparat kepolisian untuk menggunakan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kemudian, menuntut Disnakertrans Tangerang Selatan dan Kemenakertrans untuk mencabut izin perusahaan penyalur yang berlokasi di Bintaro, Tangerang Selatan itu. Jika upaya itu tidak berbuah hasil seperti harapan, LBH Jakarta dan JALA PRT akan mengajukan gugatan perdata kepada perusahaan penyalur itu.

“Kami mendorong Kepolisian untuk menggunakan UU Perdagangan Orang. Jadi yang disasar tidak hanya bosnya tapi perusahaannya juga agar izinnya dicabut,” ujar Johannes.

Koordinator Nasional JALA PRT, Lita Anggraini, menjelaskan modus perdagangan orang yang menjerat PRT sama seperti yang dialami calon pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik di negara penempatan. Warga desa yang dijerat kemiskinan dirayu oleh calo untuk bekerja sebagai PRT dan dijanjikan pekerjaan yang nyaman dengan gaji besar. Karena minimnya informasi dan pengetahuan, calon PRT kerap termakan bujuk rayu calo.

Alhasil setelah ditempatkan di perusahaan penyalur dan bekerja di rumah majikan, kondisi kerjanya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Ujungnya, PRT terjebak dalam lingkaran perdagangan orang dan menjadi komoditas perusahaan penyalur. Adanya indikasi tindak pidana perdagangan orang dalam perekrutan dan penyaluran PRT itu menurut Lita dapat dilihat dari adanya jeratan utang. Lewat cara itu, kondisi PRT tertekan dan seolah tidak bisa lepas dari jerat utang yang telah dirancang perusahaan penyalur.

Misalnya, dalam kasus Umirotun, perusahaan penyalur mengenakan denda sebesar Rp2,5 juta jika si pekerja mengundurkan diri. Padahal, dalam perjanjian kerja, ketentuan itu tidak ada. Sekalipun ada, denda itu hanya berlaku jika si pekerja pindah majikan tanpa diketahui perusahaan penyalur. Selain itu perusahaan penyalur menahan upah pertama si pekerja dengan dalih akan mengembalikannya pada akhir tahun. Menurutnya, hal itu dilakukan agar si pekerja tidak mudah lepas dari jerat perusahaan penyalur. Sehingga, perusahaan penyalur dapat meraih keuntungan dari PRT.

Selain itu, Lita melanjutkan, perusahaan penyalur juga mengenakan biaya kepada majikan. Lewat cara itu sang majikan selain membayar upah PRT juga menyetor sejumlah uang kepada perusahaan penyalur. Misalnya, majikan diwajibkan untuk membayar uang pelatihan kepada perusahaan penyalur sebesar Rp4,8 juta setiap tahun. Padahal, selama di asrama, Umirotun tidak menjalankan pelatihan apapun. “Modus sejenis banyak dilakukan oleh perusahaan penyalur lainnya. Mereka menjadikan PRT sebagai komoditas,” paparnya.

Lita mengatakan peristiwa penyekapan PRT yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang kerap dijumpai di Indonesia dan berpotensi terus berulang. Salah satu penyebabnya, tidak ada sanksi tegas bagi pelaku dan perusahaan penyalur meskipun sudah ada payung hukumnya. Sepengetahuan Lita, belum ada satu pun izin perusahaan penyalur PRT dicabut pemerintah.
Tags:

Berita Terkait