Penghapusan Kewenangan MK Tangani Sengketa Pemilukada Dikritik
Berita

Penghapusan Kewenangan MK Tangani Sengketa Pemilukada Dikritik

MK dinilai tidak konsisten dengan putusannya sendiri.

ASH
Bacaan 2 Menit
Penghapusan Kewenangan MK Tangani Sengketa Pemilukada Dikritik
Hukumonline
Putusan MK yang menghapus Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada mendapat perhatian beragam dari sejumlah kalangan.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai kewenangan sengketa pemilukada yang dibatalkan terkesan MK justru lari dari tanggung jawabnya dan salah kaprah memahami kewenangannya sendiri. Menurutnya, pemilu dengan pemilukada tidak ada perbedaan jika dilihat dari instrumen dan elemen yang terlibat di dalamnya.

“Ada KPU, KPU Provinsi/kabupaten, Bawaslu, Panwaslu kan begitu. Yang dipilih secara langsung kan nama sama namanya pemilu. Tetapi, dengan klaim MK menyatakan tidak berwenang ujungnya jadi berbeda. Satu sengketa ke MK, satu ke-MA atau pengadilan tinggi,” kritik Refly.

Menurut dia, penyelesaian sengketa pemilukada di MK itu sebagai bentuk perlindungan konstitusional terhadap warga negara yang merasa dirugikan dalam penyelenggaraan pemilukada.Karenanya, MK tidak bisa bertindak seperti pengadilan pada umumnya.

“Paradigma MK mencari pelanggaran konstitusional. Apakah masih ditemukan pelanggaran pemilukada. Jadi itu sebenarnya sejak MK berdiri sudah menjadi penjaga konstitusi untuk pemilu termasuk pemilukada,” tegasnya.

Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri menilai logika putusan MK itu termakan logika pemohon. Dia mengakui Pasal 22E UUD 1945 hanya menyebut mengadili sengketa pemilu, tidak spesifik menyebut pemilukada. “Nah, yang masuk dalam definisi pemilu sesuai UU Pemilu termasuk pemilukada. Jadi sebenarnya yang diadili MK itu ya hanya sengketa pemilu,” kata Taufiq.

Namun, menurutnya berdasarkan sejumlah undang-undang pemilukada sudah dikukuhkan masuk dalam rezim pemilu. Dengan begitu, seharusnya sengketa pemilukada tetap menjadi kewenangan MK berdasarkan Pasal 22E UUD 1945.

Dia menilai MK tidak konsisten dengan putusannya sendiri karena menyerahkan kewenangan sengketa pemilukada kepada pembentuk undang-undang. Padahal, sebelumnya DPR dan presiden sudah menyerahkan ke MK karena putusan MK pada masa Ketua MK Jimly Assidiqie sudah menyebut sengketa pemilukada masuk rezim pemilu yang merupakan kewenangan MK.

“Dulu sengketa pemilukada masih kewenangan MA karena masih dianggap masuk rezim pemerintah daerah, bukan rezim pemilu. Jadi sekarang dengan putusan dikembalikan ke DPR menjadikan MK tidak konsisten dengan putusannya,” katanya.    

Taufiq juga tak menampik putusan itu didasari adanya rasa khawatir MK atas peristiwa yang menimpa tertangkapnya mantan Ketua MK Akil Mochtar lantaran terlibat kasus suap dalam penanganan sejumlah kasus sengketa pemilukada.              

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengeluhkan putusan pembatalan kewenangan penanganan sengketa pemilukada oleh MK, sehingga sengketa pemilukada bukan kewenangan MK lagi. Padahal, dahulu MK sendiri yang meminta kewenangan itu. Namun, kalau kewenangan ini dikembalikan MA akan siap dengan kewenangan itu berdasarkan pengalaman sebelumnya.

“Tetapi, tinggal kita tunggu saja undang-undang atau regulasi yang akan mengatur pengembalian wewenang itu ke pengadilan,” kata Ridwan.

Untuk diketahui, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, penanganan sengketa pilkada merupakan kewenangan MA dan pengadilan di bawahnya. Soalnya, penanganan sengketa pilkada masuk rezim pemerintah daerah. Namun, sejak terbitnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004, sengketa pemilukada dianggap masuk rezim pemilu, sehingga menjadi kewenangan MK.

Lalu, pada Oktober 2009, MA dan MK secara resmi menandatangani nota kesepahaman terkait pelaksanaan Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 itu yang mengamanatkan pengalihan kewenangansengketa pemilukada dari MA ke MK.       

Butuh Pengadilan Khusus
Anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko menilai dengan putusan itu MK sudah tidak bisa mengadili sengketa hasil pemilukada. “Bagus itu, artinya MK benar-benar sebagai penafsir tunggal konsitusi,” kata Budiman saat dihubungi, Selasa (20/5).  

Dia juga menilai melalui putusan itu MK bisa melepaskan dari kepentingan-kepentingan yang bisa menjebak mereka dalam konflik kepentingan. Sebab, dirinya memandang adanya sengketa hasil pemilukada kerap melahirkan praktik-praktik korupsi. Ironisnya, praktik korupsi dalam penanganan sengketa pemilukada melibatkan ketua MK sendiri, Akil Mochtar.

“Ya, berarti kewenangan sengketa pemilukada bisa saja diserahkan kepada pengadilan biasa atau MA. Atau bisa jadi kami mengusulkan untuk membentuk pengadilan khusus,” kata politisi dari PDI-P ini.   

Nantinya, kata dia, dengan adanya putusan ini bisa menjadi bahan masukan materi RUU Pemilukada yang saat tengah dibahas di DPR. Jadi, lembaga mana yang berwenang mengadili sengketa pemilukada akan dimasukkan dalam materi RUU Pemilukada. “RUU Pemilukada sedang dibahas dan belum selesai, sementara kami serahkan ke MA. Tetapi, saya sendiri memasukkan menjadi lembaga sendiri,” katanya.

“Sekarang ini sedang dibahas RUU Pemilukada terutama mekanisme pemilukadanya, apakah pemilihan melalui DPRD atau pemilihan langsung oleh rakyat. Ini masih belum selesai.”

Sebelumnya, MK melalui putusan yang dibacakan, Senin (19/5) kemarin membatalkan konstitusionalitas Pasal 236 C UU Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU kekuasaan kehakiman. Implikasinya, MK sudah tidak berwenang lagi mengadili sengketa hasil pemilukada yang sudah dijalaninya sejak adanya kesepakatan pengalihan kewenangan dari MA dan MK pada tahun 2008. Namun, kewenangan sengketa pemilukada masih menjadi kewenangan MK hingga ada undang-undang pengganti.

Mahkamah menilai sengketa hasil pemilukada itu tetap masuk rezim pemerintah daerah sesuai Pasal 18 UUD 1945, bukan masuk rezim pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945. Selain itu, jika sengketa pemilukada menjadi kewenangan MK bertentangan dengan original intent makna Pasal 22E UUD 1945 yang secara limitatif memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan 5 tahun sekali.
Tags:

Berita Terkait