Setelah Pasal Pidana Lembaga Survei Dicabut
Berita

Setelah Pasal Pidana Lembaga Survei Dicabut

Kredibilitas lembaga survei dipertanyakan. Metode survei harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

ADY
Bacaan 2 Menit
Setelah Pasal Pidana Lembaga Survei Dicabut
Hukumonline
Hasil hitung cepat pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014 memperlihatkan perbedaan. Ada beberapa lembaga survei yang menyatakan kemenangan pasangan Prabowo-Hatta, sebagian besar menyatakan kemenangan Jokowi-JK. Mengapa bisa terjadi?

Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Hasbi, mengatakan tidak terlalu sulit mengetahui apakah lembaga survei menyelenggaraan hitung cepat dengan benar. Untuk mendapatkan hasil, lembaga survei harus mengambil sampel dari lapangan. Masalahnya semua lembaga survei mengklaim sudah menggunakan teknik sampling dan metode yang benar.

Itu pula sebabnya, masyarakat menjadi bingung. Lembaga survei menjadi sorotan. Diduga ada lembaga survei yang mengumumkan hasil berdasarkan pesanan, mengabaikan kaidah ilmiah, dan berusaha membohongi public. “Kredibilitas lembaga survei saat ini disorot karena adanya perbedaan hasil, siapa menang dan kalah,” kata Hasan dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (10/7).

Sebenarnya, Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) memuat ancaman pidana bagi lembaga survei yang mengumumkan hasil survei pada hari pemilihan. Tetapi menjelang Pilpres 2009, Mahkamah Konstitusi membatalkan norma pidana dalam Pasal 255 UU Pilpres.

Sejak itu, lembaga survei bebas bergerak, mengumumkan kapanpun hasil surveinya. Yang bisa dilakukan penyelenggara pemilu adalah mendata dan member akreditasi. Kini, lembaga yang punya akreditasi pun ternyata berada di dua kutub berbeda.

Dosen Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Asep Saefuddin, menjelaskan dalam ilmu statistika, hitung cepat berfungsi mendapatkan parameter dengan mudah dan akurasi yang tinggi. Jika ada enam lembaga survei melakukan quick count dengan menggunakan metodologi yang benar maka hasilnya cenderung sama. “Quick count yang dilakukan semua lembaga survei yang kredibel punya tingkat kesamaan yang tinggi,” tukas Asep.

Kini, setelah kasus Pilpres 2014, ada upaya meminta tanggung jawab lembaga-lembaga survei. Komisi Pemilihan Umum diminta melakukan penertiban. Dari sisi lembaga survei sendiri, keterbukaan menjadi keniscayaan. Peneliti senior Litbang Kompas, Bastian Nainggolan, mengatakan lembaga survei itu harus memegang prinsip keterbukaan. Sekalipun diaudit maka lembaga itu harus siap. “Bahkan sampai sumber keuangannya,” urainya.

Selain itu, dikatakan Bastian, lembaga survei juga harus membuka data sampai tingkat TPS yang dijadikan sample. “Lembaga survei itu harus terbuka,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait