Pro Kontra Putusan Videotron, Terobosan atau Kekeliruan?
Berita

Pro Kontra Putusan Videotron, Terobosan atau Kekeliruan?

Ada yang menganggap hakim dapat mengabaikan kepastian hukum demi rasa keadilan. Ada pula yang menganggap itu sebagai kekeliruan yang nyata.

NOV
Bacaan 2 Menit
Hendra Saputra (tengah) usai sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8). Foto: RES
Hendra Saputra (tengah) usai sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8). Foto: RES
Putusan majelis hakim perkara korupsi Videotron yang menghukum seorang office boy, Hendra Saputra dengan pidana satu tahun penjara dan denda Rp50 juta menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pakar hukum menganggap putusan tersebut sebagai terobosan, sebagian lagi menganggap putusan itu sebagai kekeliruan hakim yang nyata.

Pakah hukum Chairul Huda, misalnya. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta ini menganggap hakim dapat membuat terobosan dengan menyimpangi ketentuan pidana minimal empat tahun penjara dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Ia berpendapat, hakim dapat mengabaikan kepastian hukum demi rasa keadilan.

Terlebih lagi, dalam putusannya, hakim menyebut Hendra sebagai orang yang diperalat Riefan Avrian untuk mendapatkan proyek Videotron di Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM). Atas dasar itu, Chairul merasa wajar jika majelis menyimpangi ketentuan pidana minimal, bahkan ia merasa Hendra semestinya dibebaskan.

Chairul menjelaskan, dalam memberikan putusan, hakim terikat untuk menjatuhkan pidana antara pidana minimal dan maksimal. Namun, hakim dapat mengabaikan jika hukuman pidana minimal masih dirasa terlalu berat. “Jadi, ini soal pertentangan kepastian hukum dan rasa keadilan,” katanya kepada hukumonline, Minggu (31/8).

Ia melanjutkan, secara teoritis, hakim harus sebisa mungkin menyelaraskan antara kepastian hukum dan keadilan. Akan tetapi, ada kalanya kepastian hukum dan keadilan tidak dapat dipertemukan. Apabila keduanya tidak dapat dipertemukan, hakim dapat mengambil sikap untuk mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.

“Nah, ini sudah dinormakan juga dalam RUU KUHAP. Saya melihat, ada pergulatan antara kepastian hukum dan keadilan. Kalau demi kepastian hukum, hakim harus menjatuhkan pidana empat tahun. Tapi, itu dirasakan tidak adil, sehingga hakim memilih mengabaikan kepastian hukum dan memegang keadilan,” ujar Chairul.

Kasus seperti ini ternyata bukan hanya terjadi dalam perkara Hendra. Chairul mengungkapkan, dalam perkara pelanggaran HAM berat dengan terdakwa Eurico Guterres, majelis banding sempat menghukum Eurico dengan pidana penjara selama lima tahun. Padahal, ketentuan pidana minimal adalah 10 tahun penjara.

Putusan itu selanjutnya dibatalkan MA dengan mengubah masa hukuman Eurico menjadi 10 tahun penjara. Putusan tersebut kembali dibatalkan MA di tingkat peninjauan kembali (PK), sehingga Eurico dibebaskan. Meski putusan banding Eurico dibatalkan MA, setidaknya ada kemiripan antara putusan banding Eurico dan putusan Hendra.

Majelis sama-sama mengutamakan rasa keadilan di atas kepastian hukum. Dalam putusan banding Eurico, majelis menyebut Eurico sebagai bagian dari orang-orang yang berusaha mempertahankan Timor-Timur sebagai bagian NKRI. Selain itu, majelis menyebut, sebenarnya ada tokoh-tokoh lain yang lebih bertanggung jawab.

Dengan demikian, majelis merasa hukuman pidana minimal 10 tahun penjara terlalu berat dan justru tidak memenuhi rasa keadilan. Kasus serupa juga terjadi dalam putusan Hendra. Chairul menyatakan, di satu sisi, majelis menganggap Hendra terbukti bersalah, tapi di sisi lain majelis menganggap ketentuan pidana minimal tidak memenuhi rasa keadilan.

“Saya pikir hal itu dibenarkan karena memang dalam irah-irah putusannya ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, bukan demi kepastian hukum. Dengan menghukum Hendra di bawah ketentuan pidana minimal, berarti hakim Pengadilan Tipikor masih sangat mempertahankan prinsip-prinsip keadilan,” tuturnya.

Walau begitu, Chairul tidak menampik jika putusan-putusan yang di bawah ketentuan pidana minimal ini dapat berimplikasi negatif apabila diikuti dengan niat buruk. Untuk itu, dalam RUU KUHAP, MA diberikan kewenangan untuk memeriksa, apakah putusan itu benar-benar dilandasi pertimbangan rasa keadilan atau sebab lain.

Sementara, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Adami Chazawi,tidak menganggap putusan Hendra sebagai terobosan. Ia justru menganggap hakim melakukan kekeliruan yang nyata dengan menjatuhkan hukuman di bawah ketentuan pidana minimal. Ia menilai putusan itu jelas bertentangan dengan ketentuan undang-undang.

Adami menegaskan, hakim dapat melakukan terobosan atau penemuan hukum hanya jika aturan hukum tidak mengatur secara jelas. “Tapi, ini bukan terobosan, bukan temuan hukum. Aturannya sudah jelas kok. Ini tidak bisa dibenarkan dan masuk kekeliruan hakim yang nyata kalau menurut Pasal 263 KUHAP,” terangnya.

Oleh karena itu, masih terbuka peluang untuk mengajukan banding, lalu kasasi hingga putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap dan ternyata putusannya masih di bawah ketentuan pidana minimal, menurut Adami, putusan tersebut batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi.

Ia berpendapat, jika hakim menganggap Hendra sebagai orang yang diperalat, mengapa hakim tidak memutus lepas Hendra? Hal ini justru dapat dibenarkan karena dalam Pasal 55 KUHP ada yang disebut dengan orang “yang disuruh melakukan”. Orang seperti tidak dapat dipidana, sedangkan yang dipidana adalah orang “yang menyuruh melakukan”.

“Yang menyuruh melakukan itu disebut dengan manus domina atau dalam KUHP disebut sebagai pelaku penyuruh atau doen pleger. Jadi, kalau memang dia diperalat, mestinya pertimbangannya dia sebagai orang yang disuruh melakukan atau manus ministra. Kalau dengan cara membuat hukum sendiri, jelas salah,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait