Melalui Perppu, Presiden Kembalikan Sengketa Pilkada ke MA
Berita

Melalui Perppu, Presiden Kembalikan Sengketa Pilkada ke MA

Peneliti mengkritik ada aturan dalam Perppu yang berpotensi menimbulkan persoalan.

M-22/Ali
Bacaan 2 Menit
Peneliti Senior LeIP Arsil. Foto: RES.
Peneliti Senior LeIP Arsil. Foto: RES.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengembalikan kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke badan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA), melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014.

Kewenangan ini diatur dalam Pasal 157 ayat (1) Perppu. Ketentuan itu berbunyi, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung”.

Perppu ini juga hanya memberi waktu kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus perkara perselisihan sengketa hasil pemlihan paling lama 14 hari sejak diterimanya permohonan.

Lebih lanjut, Pasal 159 Perppu ini juga menyatakan bahwa sengketa hasil ditangani oleh hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi. MA menetapkan hakim ad hoc dan masa tugas hakim ad hoc untuk penyelesaian sengketa. Uniknya, tidak semua Pengadilan Tinggi berwenang mengadili sengketa pilkada, Perppu memerintahkan MA untuk menetapkan empat PT yang menangani sengketa hasil pilkada yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pengamat Peradilan, Arsil menilai bahwa aturan hakim ad hoc yang menangani sengketa pilkada ini tidak cukup jelas. “Nggak diatur hakim ad hoc itu apakah hakim yang bukan hakim, atau bisa termasuk hakim. Misalnya, kayak di Pengadilan Niaga, itu hakim diangkat sebagai hakim ad hoc bisa,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (6/10).

“Kalau pun dia hakim atau bukan hakim, harus diatur syaratnya apa saja,” tambahnya.

Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) ini mengatakan seharusnya Perppu itu mengatur syarat hakim ad hoc yang diberi kewenangan menangani sengketa pilkada. “Harusnya diatur siapa itu hakim ad hoc, kemudian syaratnya apa untuk menjadi hakim ad hoc,” tuturnya.

Lebih lanjut, Arsil menilai persoalan yang muncul dari Perppu ini bukan hanya seputar hakim ad hoc, tetapi ada persoalan lain. “Itu baru ngomongin hakim. Perkara itu diputus tunggal atau majelis? Gimana MA mau jalanin itu kalau aturan-aturanya aja tidak jelas. Nanti akan jadi masalah pasti,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait