Komnas HAM Ungkap Dugaan Pelanggaran HAM Dalam Kasus Paniai
Berita

Komnas HAM Ungkap Dugaan Pelanggaran HAM Dalam Kasus Paniai

Peristiwa kekerasan dipicu oleh arogansi yang diduga dilakukan anggota Timsus 758.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: Sgp
Gedung Komnas HAM. Foto: Sgp
Komnas HAM menduga terjadi pelanggaran HAM dalam kasus kekerasan pada 7-8 Desember 2014 di Kabupaten Paniai, Papua. Menurut komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, peristiwa itu terjadi di dua tempat yakni Pondok Natal dan lapangan Karel Gobay.
“Dalam peristiwa kekerasan di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran HAM,” kata Maneger dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM di Jakarta, Senin (22/12).

Pada tanggal 7 Desember 2014 sekitar 20.00 WIT peristiwa kekerasan terjadi di Pondok Natal, distrik Paniai Timur. Peristiwa itu bermula ketika para pemuda di Pondok Natal menegur seorang pengendara motor yang melintas karena tidak menyalakan lampu.

Menurut Maneger, para pemuda itu mengingatkan si pengendara untuk menyalakan lampu karena jika itu tidak dilakukan dapat membahayakan. Tapi si pengendara tidak terima ditegur dan mengancam akan kembali dan membawa rekan-rekannya.

Setelah kembali bersama beberapa temannya, si pengendara motor itu melakukan penganiayaan kepada pemuda tersebut. Dari hasil visum di RSUD Paniai, salah satu korban yang bernama Yulianus Yeimo mengalami luka akibat pukulan popor senjata laras panjang.

Mendengar kabar itu, masyarakat sekitar Pondok Natal marah dan menutup jalan utama Madi-Enarotali Km4. Kemudian, kendaraan yang dikendarai Danki TNI 753 melintas dan terdengar suara tembakan.  Komnas HAM mencatat ada 11 korban dalam peristiwa di Pondok Natal dan semuanya anak-anak. Para korban mengalami luka tembak dan penyiksaan.

Kejadian selanjutnya terjadi pada 8 Desember 2014 di lapangan Karel Gobay. Masyarakat yang ketika itu berkumpul di lapangan diberondong tembakan yang tidak diketahui arahnya darimana. Akibatnya, empat remaja tewas tertembus timah panas dan belasan lainnya luka-luka. Sementara dari dua peristiwa itu tujuh anggota TNI dan tiga polisi luka terkena lemparan batu.

Dari temuan Komnas HAM, Maneger mengatakan peristiwa kekerasan yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 di Paniai itu berawal dari arogansi aparat yang diduga anggota Timsus 753. Aparat itu melakukan pemukulan terhadap anak-anak yang berada di Posko Natal di Bukit Togokutu. Pada peristiwa di lapangan Karel Gobay, Komnas HAM menemukan bukti cukup penggunaan peluru tajam dalam penghalauan massa.

Sayangnya, aparat kepolisian yang mengusut kasus itu masih menemukan hambatan di lapangan. Misalnya, penyidik kesulitan menjalankan tugas karena korban meninggal tidak dilakukan otopsi karena tidak diizinkan keluarga sehingga tidak diketahui penyebab kematian, serta belum jelas apakah masih terdapat proyektil atau tidak di tubuh korban.

Selain itu, Maneger menyebut Komnas HAM menyimpulkan masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap fragmen proyektil yang diambil dari tubuh korban luka tembak di RSUD Paniai. Itu diperlukan untuk mengetahui jenis senjata yang digunakan menembak korban.

Pada peristiwa itu Komnas HAM tidak menemukan bukti adanya situasi yang mengancam oleh masyarakat sebagai dasar digunakannya kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat. Sampai saat ini kasus tersebut belum dilakukan penyelesaian secara adat oleh pemerintah Kabupaten Paniai dan masyarakat.

Maneger mencatat bentuk-bentuk perbuatan pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa itu di antaranya melanggar hak untuk hidup, tidak mendapat perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, hak atas rasa aman dan hak anak. Komnas HAM pun menyayangkan sikap TNI yang belum bersedia memberi keterangan kepada tim investigasi Komnas HAM atas peristiwa tersebut.

Namun yang jelas, tim investigasi Komnas HAM telah mengumpulkan keterangan saksi dan mendapat video peristiwa yang terjadi di lapangan Karel Gobay. Semua data yang diperoleh dapat dijadikan dasar untuk membentuk tim lanjutan.

Komisioner Komnas HAM lainnya, Nur Kholis, menegaskan Komnas HAM menyoroti reaksi aparat yang berlebihan dalam peristiwa tersebut. Apalagi peristiwa itu dipicu karena pemuda menegur pengendara motor. Kemudian si pengendara motor tidak terima ditegur dan hasil visum menunjukan korban dipopor senjata laras panjang. “Itu ketahuan siapa yang ditegor pemuda (diduga kuat aparat),” tukasnya.

Nur Kholis menegaskan, Komnas HAM sejak lama mengingatkan agar aparat yang ditempatkan di Papua itu dibekali dengan pengetahuan yang cukup. Dengan begitu, aparat akan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan kondisi di Papua yang masuk kategori khusus. Sebab, peristiwa “kecil” di Papua dapat memicu terjadinya peristiwa yang lebih besar.

Hal itu bagi Nur Kholis penting karena pemerintah sedang mendorong upaya perdamaian di Papua. Adanya peristiwa kekerasan seperti yang terjadi di Paniai akan menghambat upaya perdamaian tersebut. Ia pun kecewa terhadap sikap TNI yang tidak kooperatif dalam upaya penegakan hukum dan penuntasan kasus tersebut.

Oleh karenanya dalam rekomendasi, Komnas HAM mendesak panglima TNI Cq KSAD Cq Pangdam XVII/Cendrawasih untuk memberikan keterangan kepada tim investigasi Komnas HAM. Menkopolhukam juga diminta segera membentuk tim pencari fakta gabungan yang teridiri dari TNI, Polri, Komnas HAM dan tokoh adat di Paniai.

Komnas HAM akan berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan bagi para saksi dan korban agar dapat diminta keterangannya oleh penyidik. Nur Kholis mengingatkan agar semua pihak tidak mengambil kesimpulan siapa yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut sebelum adanya hasil penyidikan.
Tags:

Berita Terkait