SEMA Pembatasan PK Dinilai Akal-Akalan MA
Utama

SEMA Pembatasan PK Dinilai Akal-Akalan MA

SETARA, HRWG dan Imparsial akan menempuh upaya dengan melaporkan ke Komisi Yudisial jika MA tak mau mencabut SEMA.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Pro kontra terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana terus berlangsung di tengah masyarakat. Malahan, upaya pembatasan pengajuan PK tersebut dinilai akal-akalan Mahkamah Agung (MA).

“SEMA ini akal-akalan Mahkamah Agung supaya Kejaksaan Agung bisa eksekusi terpidana hukuman mati,” ujar Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, di Jakarta, Senin (5/1).

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pengajuan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali seolah ‘ditabrak’ MA melalui SEMA tersebut. Padahal SEMA diperuntukkan internal hakim. Hakim dalam menjalankan tugasnya tentu dalam kondisi merdeka. Menurutnya, dengan terbitnya SEMA berdampak emohnya pengadilan menerima pengajuan PK dari terpidana. Misalnya, kata Poengky, Pengadilan Negeri Tengerang.

Ia berpandangan SEMA telah menambrak konstitusi. Pasalnya, KUHAP bersifat lex spesialis sejak adanya putusan MK, khususnya terkait pengajuan PK. Soalnya norma baru tersebut mengesampingkan norma lama, yakni Pasal 24 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Perlu kami ingatkan bahwa keputusan MK tersebut adalah pembatalan norma prosedural yang diatur dalam UU yang lex spesialis yaitu KUHAP. Dan norma yang diatur dalam lex spesialis ini juga ada dan ditentukan di dalam UU yang bersifat generalis seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung,” ujarnya.

Wakil Direktur  Human Right Working Group (HRWG), M Choirul Anam, menambahkan Kejaksaan Agung tak boleh menjadikan SEMA sebagai rujukan dalam melakukan eksekusi terhadap terpidana mati. Soalnya, hal tersebut dinilai inkonstitusional. Lebih jauh ia mengatakan sebelum terbitnya SEMA, ia bersitegang dengan Ketua PN Tangerang terkait penolakan pengajuan PK kedua.

Seharusnya, sejak adanya putusan MK, hakim patuh dan tunduk terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat. “SEMA ini menimbulkan tanda tanya,  SEMA ini untuk siapa, kepentingan siapa, apa untuk balas dendam atau pencitraan Jokowi, karena Jokowi mendorong eksekusi mati,” ujarnya.

Ia pun mengecam badan peradilan tertinggi itu lantaran telah mengabaikan putusan MK. Pasalnya kebijakan MA tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan. Sebaliknya, MA justru terjebak dengan pencitraan pemerintahan di bawah tampuk kepemimpinan Joko Widodo- Jusuf Kalla itu. Ia menyayangkan MA terseret dalam labirin pencitraan Jokowi. Semestinya badan peradilan independen dan patuh terhadap putusan MK yang menjadi norma baru dalam KUHAP.

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi, mengamini pandangan Poengky dan Anam. Menurutnya, pembatasan pengajuan PK melalui SEMA membuat ketidakadilan terhadap terpidana yang masih menempuh upaya hukum. Ia khawatir terpidana yang dihukum mati ketika di eksekusi, belakangan terdapat bukti baru yang membuktikan bukan terpidana dimaksud sebagai pelaku kejahatan.

“Seperti kasus Sengkon dan Karta. Jadi saya kira SEMA ini bukan saja sebuah kekeliruan, tetapi kekonyolan,” ujarnya.

Aktivis Hak Asasi Manusia itu lebih jauh berpandangan ketimbang MA membuat kebijakan yang menabrak aturan, baiknya badan peradilan tertinggi itu berorientasi pada kegiatan positif. Misalnya, membuat pembatasan remisi, pembebasan bersyarat. “Kami mengecam Mahkamah Agung atas keluarnya SEMA No.7 Tahun 2014 yang bertentangan dengan knstitusi dan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan,” katanya.

Direktur HRWG Rafendi Djamin menambahkan, penerbitan SEMA No.7 Tahun 2014 seolah menjadi jalan lurus dalam melakukan eksekusi terhadap terpidana mati. Ia menilai seharusnya pemerintahan Jokowi mengedepankan rasa keadilan di atas kepastian hukum. “Jangan sampai kita punya presiden yang haus darah, malu dong kita. SEMA ini aturan internal yang menabrak UU,” ujarnya.

Laporkan KY
Desakan MA agar segera mencabut SEMA tersebut kian deras dari penggiat HAM. Namun, jika MA kekeuh tak mau mencabut SEMA, maka SETARA, HRWG dan Imparsial akan menempuh upaya dengan melaporkan ke Komisi Yudisial.

“Pertama kami akan melapor ke KY. KY sudah memperingatkan pengadilan agar menerima PK kedua. Kalau tidak mau menerima sama saja melanggar kdoe etik, dan kita akan laporkan ke KY,” ujar Choirul Anam.

Selain itu, upaya melakukan uji terhadap Pasal yang mengatur PK dalam UU MA dan Kehakiman. Namun kata Anam, meski pun tidak perlu menempuh upaya tersebut, setidaknya MA dapat merespon hal tersebut agar mencabut SEMA.

“Seandainya eksekusi mati dilakukan dengan melalui SEMA, kita akan tuntut sampai mana pun, ini juga tangungjawab presiden. Presiden akan kami tuntut kalau sampai ada eksekusi hukuman mati,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait