Ketidakcakapan Penerjemah Bukan Novum Menentukan
Berita

Ketidakcakapan Penerjemah Bukan Novum Menentukan

Mahkamah Agung menolak PK terpidana mat asal Filipina. Argumentasi mengenai kecakapan penerjemah ditepis hakim.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ketidakcakapan Penerjemah Bukan Novum Menentukan
Hukumonline
Pupus sudah harapan Mary Jane Viesta Veloso warga negara Philipina agar terbebas dari jerat hukuman mati lewat permohonan Peninjauan Kembali (PK) seiring ditolaknya upaya hukum luar biasa yang diajukannya. Normatifnya, PK tak menghalangi eksekusi. Tetapi selama ini eksekusi terpidana mati selalu menunggu upaya hukum PK dilakukan.

Putusan Penolakan PK Mary Jane ini dijatuhkan oleh Majelis PK yang diketuai Muhammad Saleh beranggotakan Andi Samsan Nganro dan Timur P. Manurung pada 25 Maret 2015.   “Sudah putusan kemarin (25/3), ditolak,” kata salah satu anggota Majelis PK Mary Jane, Andi Samsan Nganro saat ditemui di Acara HUT IKAHI ke-62 di Hotel Mercure Ancol Jakarta, Kamis (26/3).

Andi menjelaskan majelis PK memang mempercepat proses pemeriksaan demi kepastian hukum. Dia menerangkan, alasan PK Mary Jane yang menyatakan adanya penerjemah yang tidak kompeten saat mendampingi dirinya karena masih berstatus mahasiswa. Akibatnya, proses persidangan tidak bisa dikomunikasikan dengan baik oleh si penerjemah terhadap Jane.

Namun, majelis PK menganggap bukti baru yang diajukan Mary Jane guna mengungkap adanya ketidakcakapan penerjemah tidak cukup kuat. “Enggak bisa buktikan kesalahan, ya tidak ada novum,” kata Andi.

Mary Jane sendiri mengajukan PK ke Pengadilan Negeri (PN) Sleman karena menilai penerjemah yang mendampinginya selama proses persidangan di tahun 2010 tidak cakap dan kurang kompeten. Sedangkan, sidang perdana PK Mary Jane digelar PN Sleman pada 3 Maret 2015.

Dalam permohonan PK itu disebutkan penerjemah yang mendampingi Jane, masih berstatus mahasiswa Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yogyakarta dan tidak memiliki sertifikat penerjemah. Selain itu, Mary Jane mengaku hanya bisa berbahasa Tagalog tidak dapat memahami proses persidangan secara utuh karena penerjemah justru berbicara dalam bahasa Inggris.

Ketidakcakapan penerjemah itulah yang dianggap sebagai bukti baru atau novum dalam PK. Jane beralasan Pasal 51 ayat (2) KUHAP menyebutkan terdakwa berhak mendapatkan pemberitahuan yang jelas sesuai bahasa yang dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya.

Tak hanya itu, Pasal 177 ayat (1) KUHAP menyebutkan jika terdakwa terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Sedangkan dalam persidangan Jane pada 2010 hingga vonis mati dijatuhkan, penerjemah sama sekali tidak menggunakan bahasa Tagalog.

Sebelumnya, Mary Jane mengajukan grasi, tetapi ditolak Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Keppres No. 31/G Tahun 2014. Mary Jane sendiri masuk dalam daftar 10 orang terpidana narkotika yang akan dieksekusi mati pada gelombang kedua.
Tags:

Berita Terkait