Penguji KUHAP Cabut Permohonan
Berita

Penguji KUHAP Cabut Permohonan

Karena materi pengujian yang sama telah diputus MK.

RED
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pemohon dalam perkara uji materi UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menarik kembali permohonannya pada Senin (4/5). Perkara yang terdaftar dengan nomor 44/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Damian Agatha Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, Luthfi Sahputra dan Ryand yang merupakan pegiat hukum dan HAM.

“Majelis, kami dengan ini Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V yang hadir di dalam ruangan ini ikut serta mewakili Pemohon I dan Pemohon II, dengan ini mengajukan pencabutan atas pengujian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945, dengan Perkara Nomor 44/ PUU-XIII/2015, pada hari ini tanggal 4 Mei 2015,” kata Luthfie di hadapan majelis panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Adapun alasan penarikan kembali permohonan, karena Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan putusan terhadap pokok permohonan yang sama. “Mengenai pengujian terhadap Undang-Undang Hukum Acara Pidana sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi,” papar Anbar Jayadi, salah satu Pemohon.

Pada kesempatan itu, Suhartoyo sempat menanyakan apakah terdapat surat kuasa penarikan kembali permohonan dari Pemohon lain yang tidak hadir di persidangan, yakni Damian Agatha Yuvens dan Rangga Sujud Widigda.

Menjawab pertanyaan itu, para Pemohon yang hadir menyatakan akan menyusulkan surat kuasa dari pemohon lainnya. Untuk itu, Suhartoyo meminta agar para Pemohon segera mengirimkan surat kuasa dimaksud.

“Baik ya, terima kasih atas kehadirannya dan supaya disampaikan kepada dua rekannya supaya segera menyampaikan ke Mahkamah tentang secara formal pencabutannya, dan dengan ini Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 persidangannya dinyatakan selesai dan ditutup,” pungkas Suhartoyo.

Sebelumnya, para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan praperadilan dalam Pasal 1 angka 10 huruf a dan Pasal 77 huruf a KUHAP karena dianggap belum memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Untuk itu para Pemohon meminta agar MK  memperluas objek praperadilan, yakni sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Namun, pada 28 April 2015 lalu, MK melalui putusan nomor 21/PUU-XII/2014 telah mengabulkan sebagian permohonan terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan yang menjadi polemik terutama pasca putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang membatalkan status tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) oleh KPK.

Dalam putusannya, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan.

Tags: