Aturan Gugurnya Praperadilan Dinilai Multitafsir
Berita

Aturan Gugurnya Praperadilan Dinilai Multitafsir

Pemeriksaan pengadilan seharusnya dimaknai setelah hakim menetapkan hari sidang.

ASH
Bacaan 2 Menit
Aturan Gugurnya Praperadilan Dinilai Multitafsir
Hukumonline
Apa sebenarnya arti frasa ‘mulai diperiksa oleh pengadilan negeri’ dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP? Apakah sudah dihitung sejak penetapan hari sidang, atau saat sidang pertama dimulai dan terdakwa duduk di kursi pesakitan?

Pertanyaan itulah yang harus dijawab lewat sidang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah harus menjawab persoalan yang dikemukakan eks Bupati Morotai, Rusli Sibua. Setelah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus penyuapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar, Sibua  memohon pengujian sejumlah pasal UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ia spesifik mempersoalkan hak-hak tersangka/terdakwa untuk segera diadili dan gugurnya permohonan praperadilan. Aturan dalam KUHAP dinilai multitafsir.

Untuk menguatkan argumentasinya, pada sidang keempat Kamis (05/11) kemarin, Sibua menghadirkan ahli hukum pidana Chairul Huda. Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta ini berpendapat dalil pemohon bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bersifat multitafsir, ada benarnya. Sebab, aturan itu dalam praktiknya menimbulkan banyak penafsiran.

“Ketentuan ini menurut pendapat saya walaupun sederhana tampaknya, tetapi menimbulkan banyak tafsiran dalam praktik hukum terutama penggunaan frasa ‘mulai diperiksa oleh pengadilan negeri’,” ujar Chairul di depan majelis.

Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyebutkan, “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

Dijelaskan Chairul, banyaknya penafsiran Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP memunculkan persoalan dalam praktik praperadilan apabila dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP yang menyebut pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus praperadilan. Hal ini berarti Pasal 77 KUHAP dapat diartikan praperadilan juga menjadi kewenangan pengadilan negeri.

Chairul mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting. Kalau praperadilan juga menjadi kewenangan pengadilan negeri, mengapa permohonan praperadilan menjadi gugur ketika perkara (pokok) mulai diperiksa di pengadilan negeri? Bukankah pemeriksaan praperadilan juga pemeriksaan di pengadilan negeri? “Jadi karena menggunakan nomenklatur mulai diperiksa oleh pengadilan negeri ini sebenarnya seolah-olah pemeriksaan praperadilan itu bukan pemeriksaan di pengadilan negeri,” dalihnya.

Tak hanya itu, ketentuan gugurnya praperadilan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP juga akan menjadi multitafsir ketika dihubungkan Pasal 147 KUHAP. Pasal 147 KUHAP menyebutkan: setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Sebab, kata “mempelajari” dalam Pasal 147 KUHAP juga memiliki pengertian memeriksa.

Menurut Chairul Huda, ketika ketua pengadilan negeri mempelajari surat dakwaan, pada dasarnya dia memeriksa, apakah dakwaan tersebut termasuk kompetensi relatifnya atau tidak. “Artinya, mulai diperiksa oleh ketua pengadilan negeri, termasuk juga bermakna mulai diperiksa di pengadilan negeri berkenaan dengan gugurnya praperadilan,” papar ahli yang dihadirkan pemohon ini.

Menurutnya, seharusnya frasa “mulai diperiksa oleh pengadilan negeriPasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP ditafsirkan “setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa.”

Saat seseorang telah menjadi terdakwa. Kemudian secara logis seharusnya permohonannya masuk menjadi bagian dari permohonan yang diajukan dalam pokok perkaranya, tidak lagi diputus oleh hakim praperadilan,” katanya.

Melalui kuasa hukumnya, Rusli Sibua memohon pengujian Pasal 50 ayat (2), (3), Pasal 82 ayat (1), Pasal 137, dan Pasal 143 ayat (1) KUHAP serta Pasal 52 ayat (1), (2) UU KPK terkait gugurnya permohonan praperadilan dan hak-hak tersangka/terdakwa untuk segera diadili. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tersebut lantaran penerapannya disalahartikan oleh KPK dalam penanganan perkara suap yang disangkakan terhadap dirinya.

Pemohon menganggap gugurnya permohonan praperadilan atas keabsahan penetapan status tersangkanya mengandung unsur kesengajaan mengulur ngulur dari KPK dengan dalih perkara pokoknya sudah dilimpahkan dan disidangkan di Pengadilan Tipikor. Padahal, permohonan praperadilan diajukan sebelum Rusli diperiksa sebagai tersangka oleh KPK. Pemohon menilai tindakan KPK telah melanggar KUHAP dan SOP KPK itu sendiri. Karena itu, pemohon meminta tafsir terhadap pasal-pasal itu.
Tags:

Berita Terkait