Cegah Spekulan Lewat Pajak Progresif Tanah "Nganggur"
Berita

Cegah Spekulan Lewat Pajak Progresif Tanah "Nganggur"

Selisih harga tanah hasil spekulan dengan harga tanah yang sebenarnya bisa dikenakan pajak progresif, tujuannya memberikan manfaat bagi perekonomian.

ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil memastikan penerapan pajak progresif bagi tanah yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya akan bermanfaat untuk mengurangi aksi spekulan tanah. "Tujuannya pajak progresif itu untuk menghilangkan spekulasi di tanah yang tidak produktif," kata Sofyan di Jakarta, Senin (30/1).

Sofyan menjelaskan harga tanah saat ini banyak yang mengalami kenaikan dan menimbulkan aksi spekulan, padahal tanah itu "menganggur" karena diabaikan oleh pemiliknya sehingga menjadi tidak produktif. Untuk itu, selisih harga tanah hasil spekulan dengan harga tanah yang sebenarnya, bisa dikenakan pajak progresif, agar lahan tersebut secara ekonomis ikut memiliki manfaat.

"Kita tahu harga tanah sekarang berapa, misalnya Rp10 ribu per meter. Nanti kalau dijual, misalnya harga Rp100 ribu per meter, yang Rp90 ribu itu diprogresifkan pajaknya supaya orang tidak berspekulasi tanah," kata Sofyan. (Baca Juga: Permenhub 117/2015 Akan Direvisi, Tarif Progresif Bakal Berlaku di 4 Pelabuhan)

Sofyan mengharapkan setiap kepemilikan tanah di Indonesia bisa memberikan manfaat yang besar bagi pembangunan dan mendorong peningkatan investasi yang bermanfaat bagi penyediaan lapangan kerja dan kegiatan perekonomian. Untuk itu, ide pengenaan tarif pajak progresif ini sedang dirumuskan oleh pemerintah, agar pemanfaatan lahan tidak menciptakan distorsi dan tanah tersebut bisa memberikan nilai lebih dan tingkat produktivitas yang tinggi.

"Kalau kamu punya uang Rp1 miliar, misalnya, kalau ditaruh di bank, bisa digunakan untuk pinjaman bagi orang lain. Uang kamu akan bermanfaat. Tapi kalau kamu beli tanah, tidak bermanfaat apa-apa, dan nanti, misalnya, harganya jadi Rp2 miliar, kamu untung 100 persen, itu yang kena pajak," ujar Sofyan.

Sebelumnya, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan sedang mengkaji penerapan pajak progresif bagi tanah yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk mendorong pemanfaatan lahan agar lebih efisien dan produktif. "Kita coba mendetailkan pakai mekanisme apa, jenisnya bagaimana. Nanti kita diskusi dengan teman-teman (Kementerian) Agraria dan Tata Ruang," kata Kepala BKF Suahasil Nazara.

Suahasil mengakui pengenaan tarif pajak kepada tanah yang "menganggur" bisa saja diterapkan, karena banyak sekali masyarakat yang berinvestasi di lahan, namun pemanfaatannya masih minimal. "Kita belum diskusikan secara detail. Tapi prinsipnya kita mengerti bahwa ada keinginan untuk memajaki tanah-tanah yang 'idle' agar bisa lebih produktif," ujarnya.

Suahasil memastikan pajak ini bisa berfungsi sebagai insentif atau disinsentif bagi pemilik lahan agar mau mengolah maupun menggunakan tanah tersebut dengan optimal dan tidak sekedar "menganggur". (Baca Juga: Pajak Dana JHT Diprotes Buruh)

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Shinta Dwi Nofarina menilai rencana pengenaan pajak progresif tanah menganggur apabila diterapkan dapat meredam aktivitas spekulan tanah yang selama ini dinilai menyebabkan kecenderungan harga lahan naik.

"Kami melihat kebijakan ini cukup bagus karena meredam aktivitas spekulan tanah. Sekarang ini banyak spekulan yang menyebabkan penaikan harga tanah menjadi cepat, setiap tahun sekitar 20-25 persen," kata Shinta.

Selain itu, dia juga mengatakan kebijakan pajak progresif dapat menstimulus pemilik tanah agar lebih produktif dan menghasilkan efek pengganda (multiplier effect) bagi aktivitas ekonomi. Pemanfaatan lahan menganggur tersebut, kata Shinta, misalnya dapat dilakukan untuk mendorong program satu juta rumah atau menstimulus kegiatan petani-petani di daerah.

"Kalau tanah dimanfaatkan untuk membangun bisnis, maka kemudian dapat pula menyerap tenaga kerja," ucap Shinta.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah akan menyelesaikan persoalan tanah idle untuk mengarahkan masyarakat memilih instrumen investasi selain lahan. "Kami akan bikin supaya nyimpen-nyimpen uang di tanah itu (menjadi) mahal," katanya.

Dia juga mengkritisi kebiasaan masyarakat yang cenderung gemar berinvestasi tanah. "Kita sedang asyik beli-beli tanah, saving dan investasi kita itu tanah, baik konglomerat atau perorangan sama saja. Di pinggir Jakarta banyak tanah tidak diapa-apain," ujar dia.

Darmin berharap agar masyarakat beralih ke instrumen investasi Surat Utang Negara (SUN) dan saham, yang kemudian dapat berpengaruh pada perusahaan-perusahaan publik dalam membangun iklim usaha. (Baca Juga: Ketentuan Pajak Progresif Dinilai Mengancam Dunia Usaha)

Penerapan pajak progresif pernah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor.Perda ini merupakan pelaksanaan dari UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam Perda disebutkan, kendaraan bermotor pertama dikenakan 2% dari dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor. Kemudian, nilai pajaknya terus meningkat seiring semakin banyaknya kendaraan bermotor yang dimiliki. Untuk kendaraan kedua, dikenakan 2,5%, kendaraan ketiga 3% dan kendaraan bermotor keempat 3,5% dari dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor.
Tags:

Berita Terkait