Begini Isi Perpres Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan
Berita

Begini Isi Perpres Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan

Berisi mengenai pelaksanaan pembiayaan, skema kerja sama penyediaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, kerja sama pemanfaatan aset dan pengelolaan lingkungan hidup.

FAT
Bacaan 2 Menit
Begini Isi Perpres Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan
Hukumonline
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 13 Februari 2017 lalu menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2017 (Perpres 14/2017) tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 4 Tahun 2016 (Perpres 4/2016) tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Sebagaimana dikutip dari laman resmi Setkab, Perpres ini merupakan penyempurnaan terhadap pengaturan mengenai pelaksanaan pembiayaan, skema kerja sama penyediaan pembangunaninfrastruktur ketenagalistrikan, kerja sama pemanfaatan aset, dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam Perpres 14/2017 disebutkan, Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) adalah badan usaha penyediaan tenaga listrik berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan swasta yang bekerja sama dengan PT. PLN (Persero). Sebelumnya, ada tambahan kata melalui penandatanganan perjanjian jual beli/sewa jaringan tenaga listrik.

“Ketentuan mengenai kerja sama penyediaan tenaga listrik dalam rangka penugasan dilakukan berdasarkan pedoman yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara,” bunyi Pasal 4 ayat (3) Perpres 14/2017 ini. (Baca Juga: 3 Permen ESDM Terkait Jual Beli Listrik Terbit, Begini Detailnya)

Menurut Perpres 14/2017 ini, Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK) swakelola meliputi: a. pembangkit; b. transmisi;  c. distribusi;  d. gardu induk; dan/atau e. sarana pendukung lainnya. Pada Perpres sebelumnya PIK hanya disebutkan pembangkit dan/atau transmisi.

Transaksi Jual Beli
Perpres ini menegaskan, PT. PLN (Persero) melakukan kerja sama penyediaan tenaga listrik dengan PPL melalui transaksi perjanjian jual beli dan bukan transaksi perjanjian sewa. Akuntansi atas transaksi perjanjian jual beli sebagaimana dimaksud pada diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

“Pelaksanaan akuntansi sebagaimana dimaksud dapat mulai dilaksanakan untuk laporan keuangan tahun 2016,” bunyi Pasal 8A ayat (3) Perpres ini. (Baca Juga: MK Perkuat Bisnis Penyediaan Tenaga Listik oleh PLN)

Sementara terkait PIK, Perpres ini menegaskan,  kerja sama dengan badan usaha dalam negeri dan/atau badan usaha asing dilakukan dalam hal badan usaha tersebut memiliki nilai yang strategis bagi PLN dalam PIK yang terdiri atas: a. penyediaan pendanaan yang diperlukan oleh PLN;  b. memiliki ketersediaan energi yang akan digunakan oleh PLN dalam PIK; c. alih teknologi; dan/atau d. peningkatan kemampuan produksi dalam negeri.

“Kerja sama dengan badan usaha asing sebagaimana dimaksuddiutamakan dengan badan usaha asing yang sahamnya dimiliki oleh negara bersangkutan (badan usaha milik negara asing),” bunyi Pasal 9 ayat (4) Perpres ini.

Dalam rangka peningkatan penggunaan barang/jasa dalam negeri, menurut Perpres ini, PLN, anak perusahaan PLN, dan/atau PPL dapat bekerja sama dengan badan usaha asing yang memiliki komitmen dalam pengembangan peralatan dan komponen ketenagalistrikan, sumber daya manusia nasional, dan transfer teknologi yang diperlukan dalam pelaksanaan PIK.

Pengembangan peralatan dan komponen ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di dalam negeri, dan pelaksanaan kerja sama dilakukan dalam skema kerja sama antar pemerintah.

“Ketentuan mengenai kerja sama dengan badan usaha asing dalam rangka penugasan dilakukan berdasarkan pedoman yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.,” bunyi Pasal 16 ayat (4) Perpres ini.

Sementara terkait pengadaan tanah untuk PIK, Perpres ini menegaskan, dilakukan oleh PLN, anak perusahaan PLN, atau PPL. Penyediaan tanah sebagaimana dimaksud pada dapat dilakukan melalui pengadaan tanah atau pemanfaatan atas tanah infrastruktur lainnya. (Baca Juga: MK: Praktik Unbundling Penyediaan Listrik Harus Dikontrol Negara)

“Pemanfaatan atas tanah infrastruktur lainnya sebagaimana dimaksuk merupakan pemanfaatan atas tanah yang digunakan infrastruktur jalan, infrastruktur rel kereta api, atau infrastruktur pipa gas untuk dilintasi Infrastruktur Ketenagalistrikan baik di atas tanah maupun di bawah tanah,” bunyi Pasal 33 ayat (5) Perpres 14/2017 ini.

Pemanfaatan atas tanah infrastruktur lainnya sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini. dilakukan melalui kerja sama dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha. Adapun jangka waktu kerja sama sebagaimana dimaksud adalah selama jangka waktu penggunaan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang ditentukan oleh PLN.

Melalui Perpres ini juga dimungkinkan adanya erja sama PLN dengan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana, berupa pemanfaatan barang milik negara/daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah.

Dalam rangka kerjasama itu, menurut Perpres ini, PLN memberikan kompensasi berupa sewa barang milik negara/daerah yang diberikan sekali untuk selama jangka waktu kerja sama. “Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan keringanan atas formula tarif/besaran sewa barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud,” bunyi Pasal  35A ayat 5 Perpres ini.

Dalam Perpres ini juga disebutkan, PLN, anak perusahaan PLN, atau PPL dapat memanfaatkan limbah yang digunakan oleh pembangkit tenaga listrik yang berasal dari energi fosil berupa batubara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Pemanfaatan limbah sebagaimana dimaksud dapat digunakan sebagai bahan bangunan untuk infrastruktur.

“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 20 Februari 2017 itu.
Tags:

Berita Terkait