Polemik E-KTP Juga Berdampak Pada Hak Pilih Rakyat
Berita

Polemik E-KTP Juga Berdampak Pada Hak Pilih Rakyat

Korupsi E-KTP berkontribusi pada semakit carut-marutnya pemenuhan hak pilih warga negara dalam Pilkada.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Titi Anggraini (kedua dari kanan). Foto: CR-23
Titi Anggraini (kedua dari kanan). Foto: CR-23
Hingga kini, pengusutan kasus dugaan korupsi dalam mega proyek KTP elektronik (e-KTP) masih terus dilakukan KPK. Dua terdakwa pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun telah diseret ke persidangan terkait perkara ini yang diduga merugikan negara mencapai Rp2,3 triliun dari nilai proyek Rp5,9 triliun.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai, korupsi e-KTP berkontribusi pada semakin carut-marutnya pemenuhan hak pilih warga pada Pilkada. Pemaksaan penggunaan e-KTP sebagai basis mutakhir data pemilih ternyata tidak sepenuhnya diimbangi kualitas pelayanan birokrasi yang ada.

E-KTP menjadi salah satu syarat bagi warga negara untuk memberikan hak pilihnya di Pilkada serentak tahun ini. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 57 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016, “dalam hal warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

“Persoalannya, apakah e-KTP sudah terfasilitasi dengan baik untuk setiap warga yang berhak memperolehnya?” ujarnya di Jakarta, Minggu (2/4). (Baca Juga: Kalangan Parlemen Akui Proyek e-KTP Sedari Awal Sarat Masalah)

Sejauh ini pemerintah masih membuka ruang hingga pertengahan 2017 bagi WNI yang belum melakukan perekaman E-KTP untuk melakukan database kependudukan. Atas hal itu, ia menilai, masih terdapat masyarakat yang memperoleh E-KTP, dan hal ini berdampak pada daftar pemilihan suara.

Titi menjelaskan, identitas kependudukan e-KTP menjadi salah satu instrumen verifikasi, apakah seorang individu masyarakat terklarifikasi sebagai pemilih yang genap berusia 17 tahun atau sudah pernah menikah. Namun ia mengingatkan, jangan sampai elemen teknis ini justru menghambat dan menciderai hak politik seseorang untuk memilih kepala daerahnya.

Hak pilih memperoleh jaminan hukum diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dalam Pasal 21 disebutkan, setiap orang yang berhak turut serta dalam pemerintah negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantara wakil-wakil yang dipilih secara bebas dan berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintah negerinya serta kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah.

Menurut Titi, di Indonesia terkait hak pilih secara tegas diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang isinya segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dengan tidak terkecuali. Lebih lanjut, Pasal 28 D ayat (1) dan (3) menjelaskan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan ketidakpastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum serta warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah. (Baca Juga: Usulan Hak Angket Kasus e-KTP Dinilai Tidak Perlu)

Pasal 43 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pun mengatur tentang hak pilih. Bahkan putusan MK juga memperhatikan betul hak pilih setiap warga negara. Putusan MK No .011-017/PUU-I/2003 yang menyebutkan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan memilih adalah hal yang dijamin konstitusi, UU, maupun konvensi internasional sehingga pembatasan penyimpangan dan penghapusan hak akan akan hak tersebut adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Titi menjabarkan maladministrasi merupakan satu dari tujuh tafsir yang melatarbelakangi mengapa pemilih tidak hadir ke TPS. Untuk kasus Pilkada DKI Jakarta misalnya, sekalipun sudah mendapatkan surat keterangan (suket), dimana seseorang sudah merekam identitas kependudukannya tapi belum memperoleh E-KTP. Realitasnya masih mengalami kendala di lapangan, padahal sudah memperoleh suket untuk memberikan suaranya.

Sisi lain, jika dihitung dari angka partisipasi tercatat dari 7.356.465 pemilih yang terdaftar hanya 5.563.313 yang memberikan hak pilihnya. Tentu, terdapat 1.792.113 pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. “Banyak faktor lainya yang melatarbelakangi maladministrasi menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu dalam putaran kedua perlu diperhatikan lebih jauh jangan sampai urusan administrasi menghambat partisipasi masyarakat untuk menyalurkan hak pilihnya,” ungkapnya.
Jenis PemilihTerdaftarPenggunaan Hak Pilih
Daftar Pemilih Tetap DPT 7.108.589 5.316.659
Daftar Pemilih Pindahan 10.834 10.651
Daftar Pemilih Tambahan 237.003 237.003
Total Pemilih 7.356.426 5.564.313
Pemilih Disabilitas 7.740 5.451

Sebelumnya, Ketua Bureaucracy Reform Institute (BRiS), Riski Ismanto, menilai kasus dugaan korupsi proyek e-KTP merupakan bukti gagalnya sistem reformasi birokrasi terutama di Kemendagri. Sebab, sistem reformasi birokrasi di Kemendagri tidak mampu mencegahnya terjadinya korupsi yang diduga merugikan triliunan rupiah ini. Bahkan, Inspektorat Jenderal Kemendagri sebagai aparatur pengawasan internal seolah “tidak berdaya”. (Baca Juga: BRiS: Kasus Korupsi e-KTP, Bukti Gagalnya Reformasi Birokrasi)
Tags:

Berita Terkait