Perppu Sudah Berkali-Kali Diuji ke MK, Simak Rangkuman Putusannya
Utama

Perppu Sudah Berkali-Kali Diuji ke MK, Simak Rangkuman Putusannya

Sejumlah pihak sudah mengajukan permohonan pengujian Perpppu Ormas. Mari pelajajari riwayat pengujian Perppu ke MK.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Demo tolak Perppu Ormas di Jakarta. Foto: RES
Demo tolak Perppu Ormas di Jakarta. Foto: RES
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagai hak subjektif Presiden dalam hukum tatanegara di Indonesia dinyatakan sah dan berkekuatan hukum mengikat seketika ditetapkan oleh Presiden. Sesuai rumusan Pasal 22 UUD 1945, Perppu diterbitkan Presiden ‘dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedudukan Perppu sejajar dengan Undang-Undang (UU).

Pengujian Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UUD. Lalu, apakah pengujian Perppu juga menjadi kewenangan MK? Faktanya, sudah beberapa kali MK menerima permohonan pengujian Perppu. Terakhir, yang menimbulkan prokontra, Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organsasi Kemasyarakatan.

(Baca juga: Ormas dan Komunitas Advokat Ini Juga Persoalkan Perppu Ormas).

Penelusuran hukumonline menunjukkan ada setidaknya delapan Perppu yang pernah diajukan pengujiannya ke MK. Salah satunya bahkan dipakai sebagai rujukan Perppu Ormas yang tengah diperdebatkan. Presiden Joko Widodo merujuk penafsiran MK mengenai kegentingan memaksa yang menjadi dasar baginya menetapkan Perppu Ormas.

Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menguji Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas permohonan sejumlah advokat. MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Dalam putusan ini Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

Dalam putusan inilah tafsiran penting MK untuk Pasal 22 UUD 1945 mengenai ‘kegentingan yang memaksa’ serta kewenangan MK untuk menguji Perppu berada. Seluruh putusan MK lainnya tentang Perppu merujuk pada putusan ini. Putusan ini menafsirkan bahwa Perppu adalah objek kewenangan MK karena Perppu dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang. Terhadap norma yang terdapat dalam Perppu, MK dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945 atau tidak. MK memutuskan kewenangannya untuk menguji Perppu terhadap UUD 1945 meliputi baik sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR maupun setelah adanya persetujuan DPR dimana Perppu tersebut telah menjadi Undang-Undang.

(Baca juga: DPR Pertanyakan ‘Ihwal Kegentingan Memaksa’ dalam Perppi 1/2017).

Dalam putusan itu, Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempunyai pendapat berbeda karena ia tidak setuju Perppu jadi objek kewenangan MK. Alasan pertama, menurut Alim, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) hanya menyebut, “Menguji undang-undang terhadap UUD”. Hakim Alim juga merujuk sejarah awal pembentukan MK dimana menguji konstitusionalitas undang-undang merupakan kewenangan MPR lalu dialihkan menjadi kewenangan MK dengan rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan ini pun hanya sebatas menguji undang-undang terhadap UUD 1945, tidak termasuk menguji Perppu, tidak termasuk pula menguji Tap MPR.

(Baca juga: Yusril: Tidak Ada ‘Kegentingan Memaksa’ Terbitnya Perppu Ormas).

Ia menilai, pada waktu dirumuskannya Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 saat periode amandemen, tata urutan perundang-undangan Indonesia secara hirarki menurut Tap No. III/MPR/Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan secara berjenjang ke bawah adalah: UUD 1945; Tap MPR; Undang-Undang; Perppu, dan seterusnya. Menurut Pasal 5 ayat (1) Tap MPR tersebut, kewenangan yang dialihkan itu sejak awal tanpa menyebut Perppu dan Tap MPR termasuk di dalamnya. Dengan pemberian kewenangan semula kepada MPR kemudian dialihkan ke MK hanya sebatas menguji undang-undang terhadap UUD walaupun waktu itu posisi Perppu di bawah Undang-Undang, sedangkan posisi Tap MPR di atas undang-undang menunjukkan bahwa pembuat UUD, yakni MPR memang hanya menghendaki kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

Hakim Alim juga beralasan karena Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tidak menyebutkan Perppu, bermakna hal itu diserahkan kepada DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu Perppu pada sidang berikutnya sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Setelah disetujui menjadi Undang-Undang barulah dapat diuji ke MK.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”, Hakim Alim menyatakan kewenangan MK yang tertera dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 hanya sebatas menguji undang-undang terhadap UUD. Jika ditambah dengan menguji Perppu, maka pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam kewenangan MK telah menyimpang dari UUD. Untuk itulah bagi Alim Perppu bukan objek kewenangan MK.

(Baca juga: Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic).

Meskipun begitu, hakim Muhammad Alim berpandangan jika muatan materi Perppu bukan muatan yang seharusnya diatur dalam undang-undang, atau materi muatan Perppu yang di luar kewenangan Presiden, atau jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, misalnya Presiden mengeluarkan Perppu yang berisi pembekuan atau pembubaran DPR, karena bertentangan dengan Pasal 7C UUD 1945, maka MK  berwenang mengadili pengujian Perppu tersebut, walaupun belum mendapat persetujuan atau penolakan dari DPR dalam persidangan yang berikutnya. Apalagi kalau materi Perppu itu adalah pembubaran DPR dimana sudah tak ada lagi DPR yang akan menyetujui atau menolak Perppu tersebut.

Putusan yang tidak diterima berikutnya adalah putusan MK No. 91/PUU-XI/2013 atas permohonan menguji secara formil dan materiil Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Alasannya sederhana, Perppu ini sudah diterima dalam Rapat Paripurna dan disahkan sebagai Undang-Undang selama proses persidangan di MK berlangsung. Oleh karenanya MK menilai pemohon telah kehilangan objek permohonan sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonannya tidak perlu lagi dipertimbangkan.

Perkara No. 92/PUU-XI/2013 pun mengalami nasib yang sama dengan alasan mutatis mutandis Putusan No. 91/PUU-XI/2013. Lantaran permohonan para Pemohon kehilangan objek, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan para Pemohon.

Masih pengujian Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.  24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan  No. 80/PUU-XI/2013 juga tidak diterima. MK menimbang bahwa permohonan terhadap pengujian pernah diajukan dalam perkara lain dan telah diputus oleh Mahkamah, antara lain melalui Putusan No. 91/PUU-XI/2013, bertanggal 30 Januari 2014. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”, MK menilai permohonan menjadi  ne bis in idem sehingga tidak dapat diterima.

Untuk putusan yang tidak dapat diterima lainnya, MK menggabungkan delapan permohonan dalam satu putusan dengan alasan kedelapan permohonan tersebut memiliki substansi yang sama dan dalil-dalil serta pembuktiannya saling berkaitan. Putusan No. 118-119-125-126-127-129-130-135/PUU-XII/2014  mengenai pengujian konstitusionalitas Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, dan Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Permohonan ini kandas karena lagi-lagi kehilangan objek permohonan. Di tengah berlangsungnya proses persidangan, kedua Perppu telah diterima dalam Rapat Paripurna DPR menjadi Undang-Undang.

Perkara No. 128/PUU-XII/2014 juga untuk pengujian konstitusionalitas Perppu No. 1 Tahun 2014  tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam perkara ini, meskipun telah dipanggil secara sah dan patut melalui surat pos dan e-mail sesuai data pemohon, Pemohon tak kunjung hadir dalam sidang pendahuluan pada Rabu, 12 November 2014, dan masih mangkir pada sidang kedua Rabu, 26 November 2014 tanpa keterangan apapun. Oleh karena itu MK menilai Pemohon tidak bersungguh-sungguh dalam permohonannya dan permohonan dinyatakan gugur.

Dua permohonan pengujian atas Perppu lainnya dicabut kembali oleh masing-masing pemohon dengan Ketetapan MK nomor 90/PUU-XI/2013 dan Ketetapan MK No. 28/PUU-XII/2014. Kedua permohonan ini sama-sama menguji Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UUU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan penelusuran ini, belum ada satupun permohonan pengujian Perppu yang pernah dikabulkan oleh MK baik sebagian maupun seluruhnya. Namun, pedoman baru mengenai kedudukan Perppu serta syarat-syarat kegentingan yang memaksa telah tercermin secara konsisten dalam putusan-putusan tersebut.
Tags:

Berita Terkait