Mau Terjun Sebagai Pelaku e-Commerce? Perhatikan 5 Hal Penting Ini
Berita

Mau Terjun Sebagai Pelaku e-Commerce? Perhatikan 5 Hal Penting Ini

Jangan coba-coba membangun perusahaan rintisan (Start Up) untuk ‘percobaan’. Industri perdagangan berbasis elektronik atau e-Commerce punya segudang aspek yang jauh berbeda dari bisnis konvesional pada umumnya. Tak jarang banyak pelaku yang terpaksa gulung tikar lantaran tak bisa menyesuaikan dengan pasar.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pemerintah menginisiasi Gerakan Nasional 1000 Start-up Digital tahun 2016. Hal tersebut digagas demi mewujudkan potensi Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia Tahun 2020 dengan ‘mencetak’ ribuan perusahaan rintisan baru yang memanfaatkan teknologi digital.

Direktur e-Businnes pada Ditjen Aplikasi Informatika Kominfo, Azhar Hasyim, mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya melahirkan perusahaan rintisan baru yang mulai diinisasi di 10 kota antara lain Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Malang, Medan, Bali, Makassar, dan Pontianak sejak akhir tahun lalu. Berbagai kendala dan hambatan yang dihadapi khususnya bagi pelaku di bidang perdagangan berbasis elektronik (e-Commerce) juga terus dicari jalan keluarnya salah satunya dengan membuat peta jalan e-Commerce.

“Itu sudah dirumuskan sejak akhir 2014 dan dikerjakan 2015-2016. Ada beberapa isu yang dibahas yang merupakan kendala dan potensi yang menghambat e-Commerce,” kata Azhar dalam suatu acara di Jakarta, Rabu (23/8) lalu.

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu telah merilis Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019. Peta jalan tersebut memuat tujuh program terkait pelaksanaan e-Commerce mulai dari pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, infrastruktur komunikasi, logistik, keamanan siber (cyber security) dan pembentukan manajemen pelaksana road map 2017-2019.

Kata Azhar, tujuh program yang dijabarkan kembali dalam 30 rencana aksi diharapkan akan menumbuhkan dan mempermudah pengembangan digital economy. Saat ini, sebanyak 21 Kementerian/Lembaga diminta menindaklanjuti dengan membuat berbagai kebijakan termasuk regulasi teknis terkait pendanaan, perpajakan, hingga edukasi dan perlindungan konsumen. Kominfo sendiri, kata Azhar, akan fokus menyusung infrastruktur IT termasuk keamanan siber yang pengerjaannya dikebut oleh Kominfo.

(Baca Juga: Paket Kebijakan XIV Soal Roadmap e-Commerce, Ini Pokok-Pokoknya)

Terlepas dari hal itu, Azhar berharap makin banyak yang tertarik terjun sebagai pelaku e-Commerce sehingga upaya Indonesia mengejar target menempati peringkat tiga besar sebagai tahun 2020 sebagai negara dengan pelaku start up terbesar segera terwujud. Salah satu langkah strategis yang dilakukan Kominfo adalah membangun kepercayaan kepada industri e-commerce di tengah masyarakat. Regulasi semata tentu tak menjamin, tetapi Kominfo meyakini upaya tersebut meminimalisir terjadinya kerugian dari orang yang tidak bertanggungjawab.

“Salah satunya trust. Pelaku e-Commerce harus diregistrasi dan masyarakat bisa lihat bahwa sudah terdaftar. Tidak ada penipuan dan lain-lain. Kalau terjadi, kan bisa ditelusuri. Pelakue-commerce juga dilindungi, Jangan sampai yang lakukan pelanggaran tapi yang kena adalah penyedia platform, namanya safe harbor. Aturannya juga sedang dibahas bareng idEA (Asosiasi e-Commerce Indonesia),” kata Azhar.

(Baca Juga: Pemerintah ‘Kebut’ Penyusunan Permen Kominfo tentang Safe Harbor Policy)

Lantas, apa saja yang mesti diperhatikan pelaku sebelum akhirnya terjun membangun perusahaan rintisan dibidang e-Commerce? Dari sejumlah pakar serta pengalaman salah seorang pelaku e-Commerce dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, Rabu (23/8), Hukumonline merangkum setidaknya ada lima hal penting yang mesti dipertimbangkan sebelum kalian terjun sebagai pelaku di bidang e-Commerce ini. Berikut lima hal yang wajib diperhatikan:

1.    Passion
Modal pertama dari segala modal adalah minat yang besar untuk mendalami bisnis berbasis elektronik. Ketua Bidang SDM, Pendidikan dan Perlindungan Konsumen IdEA, Even Alex Chandra menyarankan, sebelum terjun sebagai pelaku agar pertama kali bertanya kepada diri sendiri apakah benar-benar punya minat terhadap industri ini. Bila hanya setengah hati, Even berani mengatakan usaha yang dirintis tidak akan berumur panjang dan berhenti di tengah jalan.

“Tanya ke diri masing-masing, passionate ngga ke industri ini. Kalau tidak, bakal tutup. E-Commerce itu bikin budaya, kalau Gojek ngga passionate, ngga sabar, pasti mati,” kata Even.

Bila masih ragu, CMO GDP Venture, Danny Oei Wirianto menyarankan agar bergabung dengan perusahaan yang sudah ada. Tujuannya apa, yakni agar bisa lebih banyak belajar dan mengetahui seluk beluk industri tersebut sembari memantapkan keyakinan apakah benar-benar serius menekuni karir di bidang e-Commerce. “Kalau bisa, join ke perusahaan untuk belajar.You can  learn that, belajar dari orang dan baru buka sendiri,” kata Danny.

2.    Ubah Pola Pikir
Budaya ‘bakar uang’ bukan hal yang tabu di industri digital. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak berlaku di bisnis offline atau konvensional pada umumnya. Kata Even, pelaku e-Commerce terbiasa ‘membakar uang’ untuk operasional perusahaan bahkan sampai 10-20 tahun. Itu bertujuan untuk membangun perilaku berbelanja dari berbelanja fisik ke berbelanja secara online.

“Gambarannya gini, budaya online itu harus 10-12 tahun. Kalau offline ‘bakar uang’ 10 tahun, itu ngga masuk akal. Beda di online, karena bangun budaya belanja,” kata Even.

(Baca Juga:Ini Beberapa Aspek Hukum yang Perlu Diperhatikan Pelaku Start Up)

Namun, bukan berarti kalian yang lama bergelut misalnya di industri ritel offline tidak cocok terjun ke industri ini. Contohnya adalah Kukuruyuk.com. Managing Director Kukuruyuk.com, Stenly Stefano justru punya pengalaman cukup lama di perusahaan ritel konvensional tetapi ketika memilih terjun sebagai pelaku e-Commerce, perusahaannya tetap bisa survive sejak berdiri tiga tahun lalu. “Saya basic di ritel offline,” kata Stenly.

3.    Funding dari investor
Soal funding ini, mungkin jadi hal yang paling penting sebelum akhirnya terjun sebagai pelaku. Ibaratnya, 10-12 tahun ‘bakar uang’ tak akan ada artinya bila tidak ada investor yang tertarik masuk. Kata Even, pasar Indonesia secara umum sangat menarik perhatian investor terutama investor asing sekalipun masih ada beberapa kendala seperti kecepatan internet yang masih lambat serta infrastruktur lainnya yang belum memadai.

“Jangan ada sentimen anti asing, kita juga butuh duit mereka dan expertise (keahlian) mereka. Internet ini lintas batas negara, kalau memang baik kenapa tidak,” kata Even.

(Baca Juga: Ini Kiat Bagi Pelaku Bisnis Startup untuk Menarik Minat Pemodal)

Baru baru ini kita dengar Tokopedia, perusahaan marketplace di Indonesia mengumumkan memperoleh komitmen Investasi senilai 1,1 Milyar USD dari Alibaba Group. Investasi ini menjadikan Alibaba Group sebagai pemegang saham minoritas di Tokopedia. Begitupula dengan Grab dan Gojek, yang mendapatkan suntikan dana dari investor asing di mana Grab mendapatkan suntikan dana 2 Milyar USD dari Didi Chuxing dan Softbank dan Tencent mengucurkan dana ke Gojek sebesar 1,2  Milyar USD.

(Baca Juga: Berniat Bentuk Start Up Bidang Hukum? Sekaranglah Waktunya)

Dikatakan Danny, banyak ditemukan strart up tutup lantaran tidak mendapatkan dana yang cukup. Sayangnya, tidak semua start up layak dapat pendanaan. Kebiasaannya investor akan pilih-pilih untuk mendanai misalnya yang sudah berjalan 1-2 tahun atau sudah punya struktur direksi yang lengkap termasuk direktur bagian teknologi. Bila kondisi perusahaan sudah seperti itu, maka uang yang didapat dari investor akan digunakan untuk memperluas atau ekspansi bisnis mereka saja.

“Sehingga yang dibutuhkan adalah ekspansi supaya menjadi besar. Sebagai venture capital, kita bertugas besarkan mereka. Mereka bisa besar, karena ‘diduitin’. Problem mereka habis karena duit,” kata Danny.

4.    Model Bisnis yang Menjawab Kebutuhan
Keberadaan Whatsapp yang dinilai memudahkan jalur komunikasi yang murah dan fungsi beragam lainnya membuat mereka tetap hidup hingga saat ini. Itulah yang seharusnya dibangun oleh pelaku start up sehingga usaha mereka akan dinilai bermanfaat dan terus digunakan oleh masyarakat.

Danny mencontohkan, kehadiran Gojek atau transportasi berbasis aplikasi lain di Jakarta menjawab kebutuhan masyarakat kota yang butuh moda transportasi cepat dan murah karena macetnya kondisi jalan. Namun, belum tentu misalnya kehadiran perusahaan transportasi berbasis aplikasi di kota atau daerah lain akan laku dengan kondisi jalanan di daerah tersebut tidak macet.

“Tapi belum tentu, Gojek berlaku di Sukabumi. Gojek solve problem buat orang yang ngga banyak waktu. Jadi itu tergantung juga lokasinya. Jadi banyak perusahaan yang akan berhasil. Kita juga mesti pikir, modernisasi. Dulu kita sms, lalu ada Whatsapp. Dulu nongkrong di wakrung kopi dan sekarang Starbuck.Ngga mengubah perilaku tapi hanya modernisasi caranya,” kata Danny.

5.    Sumber Daya yang mumpuni
Tak terkecuali di industri e-Commerce, sumber daya manusia yang mumpuni tetap dibutuhkan untuk menunjang serta membantu perushaan mencapai target perusahaan. Harus diakui mencari expert di bidang e-Commerce tidak mudah. Kebanyakan rela mendatangkan ahli dari luar negeri. Namun, untuk jangka panjang keahlian bukan tidak mungkin diasah lewat latihan dan pendampingan.

(Baca Juga: Firma Hukum Ini Dukung Perusahaan Rintisan)

Diketahui sejumlah lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), sampai Bursa Efek Indonesia memiliki incubator yang dapat memberikan pelatihan dan pengembangan kepada para pelaku. “Harus diakui kesulitan cari orang-orang yang spesialis dibidangnya. Contohnya, acara e-Commerce orangnya itu-itu lagi,” kata Even.
Tags:

Berita Terkait