Pemahaman Asas Contrarius Actus dalam Perppu Ormas Dinilai Tidak Tepat
Utama

Pemahaman Asas Contrarius Actus dalam Perppu Ormas Dinilai Tidak Tepat

Perppu Ormas yang mengatur pemidanaan dinilai tidak sesuai asas-asas atau dokrin hukum pidana yang menimbulkan multitafsir.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sidang uji materi Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) kembali digelar. Salah satu pemohon, mantan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali menghadirkan ahli. Ahli yang dimaksud pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin dan ahli hukum pidana, Abdul Khoir Ramadan.

Dalam pandangannya, Irmanputra Sidin menilai keluarnya Perppu Ormas seharusnya memenuhi syarat kekosongan hukum sebagai salah satu definisi “kegentingan yang memaksa” agar dapat memberikan kepastian hukum. Sebab, selama ini pemerintah mengklaim ada kekosongan hukum, sehingga perlu menerbitkan Perppu Ormas.

“Padahal kalau dilihat UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas sudah mengandung asas contrarius actus, pemerintah bisa menetapkan sebuah ormas dan mencabut status badan ormas yang bersangkutan dengan catatan melalui proses peradilan. Karena itu, asas contrarius actus tidak bisa diartikan secara sederhana,” kata Irman dalam sidang pengujian Perppu Ormas di Gedung MK, Kamis (14/9/2017).

Mengapa harus ada proses peradilan? Sebab, kata Irman, hal ini konsekuensi negara hukum yang sudah tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 UUD Tahun 1945. Baginya, disinilah titik lemahnya dari terbitnya Perppu Ormas yang justru tidak memberikan kepastian hukum. Kalaupun ada kelompok-kelompok ormas yang disinyalir hendak mengubah UUD Tahun 1945 paham, hal itu diakui oleh berbagai paham yang berkembang dewasa ini.

“Seperti semacam forum kajian, pusat studi konstitusi yang memiliki paham absolutisme, unitarisme, federalisme. Mereka semua ini menuju perubahan untuk mengubah konstitusi,” katanya.

Menurutnya Perppu Ormas ini justru memberikan kecemasan karena seolah menegasikan peran pengadilan. Hal ini sangat berbahaya di negara hukum seperti Indonesia. Karena itu, pemahaman asas contrarius actus dalam Perppu Ormas dinilai tidak tepat “Jadi sekali lagi asas contrarius actus tidak bisa disederhanakan,” katanya.

“Kalau disederhanakan pemahamannya, misalnya KPU setiap saat dapat memberhentikan presiden dan wakil presiden karena KPU yang menetapkannya. Kalau KPU tidak suka ya sudah berhentikan saja. Dan Jika keberatan ya sudah bawa saja ke PTUN. Nah, masa begitu mengartikan asas contrarius actus?” (Baca Juga: Ahli: Bukti Video HTI Gugurkan Alasan Penerbitan Perppu Ormas)

Tak sesuai asas hukum pidana
Sementara Abdul Khoir Ramadan menilai rumusan Perppu Ormas mengatur pemidanaan tidak sesuai asas-asas atau doktrin hukum pidana, tidak cermat, dan berdampak multitafsir. Misalnya, ada rumusan pasal yang mengatur sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap ormas ataupun anggotanya.

“Disini menunjukkan norma Perppu Ormas diterapkan dengan analogi. Analogi yang dalam hukum pidana itu dilarang. Tidak hanya norma sanksi, tetapi analogi itu juga ditemui dalam pasal yang memiliki frasa ‘bertentangan dengan Pancasila dan mengubah UUD 1945’,” kata Abdul Khoir.

Menurutnya, pemahaman ini identik dengan ajaran atheisme, komunisme, marxisme yang dihasilkan dari pemikiran seseorang dan tidak didasarkan ajaran agama yang sah dalam hal ini syariat Islam. “Ini dipersamakan ajaran hasil kreasi dan hasil pemikiran manusia dengan Al Quran dan Hadits. Itu tidaklah pada tempatnya, dan menjadi dianalogikan,” katanya.

Selain itu, menurut Abdul Perppu Ormas mengandung asas retroaktif dalam hal pemidanaan yang seharusnya dilarang. Diketahui, dalam hukum pidana melarang penerapan asas retroaktif dimana penerapan sanksi pidana tidak berlaku surut. Misalnya, pada tahun 2017 Perppu Ormas diterbitkan, namun dugaan perbuatan pidana HTI dilakukan tahun 2013.

“Ini mundur berlaku surut, dan jelas tidak boleh. Inilah yang menimbulkan konflik norma yang merugikan para pihak. Bukan hanya HTI ini berlaku bagi siapa saja, subjektif dengan adanya niat jahat bertentangan dengan Pancasila.”

Dia menambahkan jika ormas tersebut serta merta langsung dibubarkan berarti itu meniadakan hak hidup ormas yang berbadan hukum dan sebagai subjek hukum pidana. “Berarti tidak ada daya upaya bagi seseorang melakukan pembelaan untuk membuktikan adanya pertentangan dengan Pancasila berdasarkan alat bukti yang sah. Artinya, tidak melalui due process of law agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,” katanya.

Seperti diketahui, sidang pleno uji materi Perppu ini mengabungkan 7 Pemohon yang pokok permohonannya hampir sama. Yakni, Afriady Putra S (OAI); Mantan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto; Aliansi Nusantara; Yayasan Sharia Law Institute Dkk. Dan, PP Persatuan Islam (persis); Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Yayasan Forum Silaturahmi Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia; Herdiansyah.

Para Pemohon menguji formil dan materil Perppu Ormas, khususnya Pasal 59 ayat (4) huruf c sepanjang frasa “menganut”, Pasal 61 ayat (3), Pasal 62, Pasal 80, dan Pasal 82A. Intinya, dalil permohonan mempersoalkan alasan pemerintah menerbitkan Perppu Ormas yang dinilai tidak memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 serta melanggar hak berserikat yang dijamin konstitusi. 
Tags:

Berita Terkait