Suap Hakim Masih Marak, Salah Siapa?
Fokus

Suap Hakim Masih Marak, Salah Siapa?

MA menganggap pihaknya telah berupaya maksimal mencegah terjadinya korupsi di pengadilan. Sedangkan para aktivis peradilan menganggap Ketua MA Hatta Ali harus bertanggung jawab.

Oleh:
Aji Prasetyo/Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Penangkapan hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang Widya Wahyu Nurfitri menambah kelam catatan bagi kalanga “Wakil Tuhan” yang terlibat kasus korupsi (suap). Catatan Hukumonline, sejak lembaga antirasuah itu berdiri hingga sekarang, setidaknya ada 20 hakim yang diproses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik karena dugaan ataupun telah terbukti di pengadilan pokok perkara menerima suap.

 

Mahkamah Agung (MA) pun enggan bertanggung jawab secara institusi. Mereka mengklaim telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya kasus korupsi di peradilan. Salah satu contohnya menerapakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) agar para pihak yang berperkara tidak dapat berhubungan langsung dengan pihak pengadilan.

 

“Hakim yang tidak bisa dibina harus diberi tindakan tegas. Padahal, MA bekerja sama dengan siapapun termasuk KPK, Ombudsman, KY, kami juga telah lakukan sistem PTSP. Tapi dengan sistem itu mereka masih saja bisa leluasa melalui sms, masih belum berubah. Bahkan dengan sangat menyesal, bagi yang tidak bisa dibina, maka harus dibinasakan,” kata Ketua Kamar Bidang Pengawasan MA Sunarto pada saat konferensi pers penetapan tersangka hakim Widya di KPK, Selasa (13/3) kemarin.

 

Dalam kesempatan ini, Sunarto mengklasifikasi jenis hakim menjadi tiga kategori, yaitu hitam, abu-abu dan putih. Sunarto menyebut hakim kelompok putih didorong menempati jabatan tertentu agar menjadi panutan bagi para hakim lain termasuk yang ada di dalam kategori abu-abu. Sementara hakim yang dikategorikan hitam atau yang pernah terkena hukuman Badan Pengawasan didorong untuk tidak menempati jabatan struktural di pengadilan tempatnya bertugas.

 

Pernyataan Sunarto ini sebenarnya bukan “barang baru”. Sebab, pada 2011 lalu, ketika Sunarto mengikuti wawancara terbuka dalam seleksi calon hakim agung, ia pernah mengatakan ada tiga tipologi hakim. Bedanya, Sunarto kala itu tidak membuat klasifikasi putih, abu-abu dan hitam, tetapi menggolongkan dengan tipe A, B, dan C. Untuk hakim tipe A adalah hakim yang memutus perkara sesuai fakta persidangan yang tidak pernah menerima sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Lalu, hakim tipe B adalah hakim yang memutus perkara sesuai fakta persidangan, tetapi jika diberi sesuatu dia terima.   

 

“Hakim tipe B memang menerima pemberian ucapan terima kasih karena membutuhkan. Namun, hakim tipe A dan B jika dipromosi naik jabatan, biasanya akan bertobat beneran,” ujar Sunarto yang kala itu menjabat sebagai Inspektur Wilayah II Bawas MA. Baca Juga: Panitera MA Pernah Dihadiahi Mesin Fax  

 

Sementara, hakim tipe C yaitu hakim yang memutus perkara tidak sesuai fakta sebenarnya atau sesuai fakta keinginan para pihak. Menurutnya, jika hakim tipe C ini tidak bisa dibina, maka harus dibinasakan. “Kalau hakim Tipe C ini mau ‘hilang’, jika enggak bisa dibina, ya harus ‘dibinasakan’. Namun sejak adanya lembaga pengawasan internal (MA) dan eksternal (KY), hakim tipe C ini semakin menurun,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait