Dikritik, RUU Adminduk Tak Mengakomodir Aliran Kepercayaan
Berita

Dikritik, RUU Adminduk Tak Mengakomodir Aliran Kepercayaan

Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika menolak Rancangan Undang-undang Administrasi dan Kependudukan disahkan pada 7 Desember 2006. Penolakan ini dilatarbelakangi sikap DPR yang belum mengakomodir hak dasar individu termasuk tidak melibatkan masyarakat dalam penyusunan RUU tersebut.

CRD
Bacaan 2 Menit
Dikritik, RUU Adminduk Tak Mengakomodir Aliran Kepercayaan
Hukumonline

 

Menanggapi hal tersebut, Suma Mihardja dari LBH Rakyat menyatakan bahwa RUU hasil susunan DPR masih memiliki nuansa pengawasan negara. Menurutnya, jika UU Adminduk jadi disahkan pada 7 Desember 2006 tanpa perubahan,  Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri) akan mengintervensi kehidupan pribadi setiap warga negara.

 

Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran Aliansi Bhineka Tunggal Ika. Semua data kita, data pribadi akan dihubungkan satu dengan yang lain. Dan ini akan dipegang oleh Depdagri, terangnya. Suma mencontohkan, ketika seseorang akan membuat paspor atau sertifikat tanah bahkan dokumen-dokumen yang lain maka harus menyebutkan Nomor Identitas Kependudukan (NIK). Dan kesemua data yang ada tentang seseorang ini akan dikaitkan satu sama lain.

 

Pola seperti ini menurut Suma, sangat bertolak belakang dengan Kovenan-Kovenan Internasional seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya yang sebelumnya telah diratifikasi oleh Indonesia. Pemberlakukan undang-undang ini baginya akan merugikan banyak kelompok minoritas seperti perempuan, anak-anak, kelompok miskin dan kelompok penyandang cacat.

 

RUU yang memuat tentang administrasi kependudukan, catatan sipil dan pengelolaan informasi administrasi kependudukan ini awalnya oleh DPR ditujukan untuk memperjelas data kependudukan Indonesia dan mencegah tindakan penyalahgunaan identitas diri seseorang. Misalnya untuk menghindari kepemilikan KTP ganda dan pemalsuan surat nikah.

 

Dalam RUU ini nantinya secara rinci akan mengatur tentang hak dan kewajiban penduduk, kewenangan pemda dalam kependudukan, kewenangan catatan sipil dalam perubahan kewarganegaraan serta pengangkatan anak dan pendaftaran penduduk. Pembahasan yang sedianya dilakukan pada Selasa (28/11) ditunda oleh komisi II DPR RI tanpa alasan yang jelas.

 

Anggota Aliansi, Nathan Setiabudi, mengatakan bahwa dalam proses penyusunan RUU Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) selama ini dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi. Proses pembahasan seperti ini dinilai bertentangan dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Hak masyarakat memberikan masukan secara lisan atau tulisan selama persiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah dijamin oleh pasal 53 UU No. 10 tahun 2004 tentang PPP, tegasnya.

 

Ketua Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) itu menambahkan RUU Adminduk seharusnya tidak perlu mempermasalahkan keberadaan kepercayaan yang sebagian besar memang dianut masyarakat Indonesia. Dalam RUU ini hendaknya ditulis agama dan kepercayaan bukan agama saja, terangnya.

 

Anggota Komnas HAM Chandra Setiawan menegaskan RUU Adminduk yang saat ini tengah diproses oleh DPR masih sarat dengan nilai-nilai diskriminasi. Chandra menyebutkan, bentuk diskriminasi itu berupa pembahasan tertutup yang tak melibatkan masyarakat. Hal yang lebih mendasar mengenai isu agama yakni RUU tersebut secara administratif tidak mengakui keberadaan kepercayaan yang setidaknya dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan aturan seperti ini nantinya mereka yang menganut kepercayaan tidak ditulis dalam KTP dan justru dipaksa untuk memilih salah satu agama saja, ujarnya.

 

Selain itu, unsur pernikahan juga dibahas dalam RUU ini. Bagi mereka yang menikah dengan agama berbeda maupun kepercayaan maka tidak dapat dicatat dalam catatan sipil melainkan pernikahan itu dicatat dipengadilan. Kami berharap agar RUU ini ditunda pengesahannya sebelum benar-benar mengakomodir masyarakat dan tanpa diskriminasi, kata mantan Ketua Matakin itu.

Tags: