KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apa itu Nepotisme dan Contohnya

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Apa itu Nepotisme dan Contohnya

Apa itu Nepotisme dan Contohnya
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Apa itu Nepotisme dan Contohnya

PERTANYAAN

Beberapa hari ini baru viral hakim MK dan politisi dilaporkan ke KPK karena nepotisme. Pertanyaan saya apa saja cakupan tindak pidana nepotisme dan apakah KPK berwenang menyidik dan menuntut nepotisme?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme adalah tindak pidana dengan ancaman pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 UU 28/1999.

    Lalu, apakah contoh nepotisme dan apakah KPK berwenang menyidik dan menuntut tindakan nepotisme?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Penyalahgunaan Uang SPI oleh Rektor PTN = Korupsi?

    Penyalahgunaan Uang SPI oleh Rektor PTN = Korupsi?

     

    Pengertian Nepotisme dan Contohnya

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan nepotisme? Secara bahasa, KBBI mendefinisikan nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Nepotisme itu pada hakikatnya adalah mendahulukan dan membukakan peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain.[1]

    Nepotisme merupakan jenis khusus dari konflik kepentingan yang timbul ketika seorang pegawai birokrasi atau pejabat publik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi ketika menjalani tugas. Dalam arti luas, nepotisme pada dasarnya berlaku untuk situasi yang sangat khusus, yaitu dalam hal seseorang menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan, sering dalam bentuk pekerjaan bagi anggota keluarganya.[2]

    Adapun, secara yuridis, definisi nepotisme ditemukan di dalam Pasal 1 angka 5 UU 28/1999. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.

    Lalu, apa saja cakupan penyelenggara negara itu? Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3]

    Secara hukum, tindakan nepotisme adalah dilarang untuk dilakukan oleh penyelenggara negara.[4] Larangan nepotisme ini berarti melarang penyelenggara negara menggunakan atau menyalahgunakan kedudukannya dalam lembaga publik untuk memberikan pekerjaan publik kepada keluarganya. Sebab nepotisme dapat menimbulkan konflik loyalitas dalam organisasi.[5]

    Lalu, apa saja contoh dari nepotisme? Di era orde baru, isu nepotisme muncul mengenai pengangkatan anggota MPR yang mempunyai hubungan darah dengan pejabat atau anggota MPR terpilih.[6] Contoh lain adalah seorang penyelenggara negara mengangkat anak atau sanak keluarganya untuk menduduki jabatan tertentu yang secara melawan hukum, seperti tanpa melalui rekrutmen resmi atau menggunakan kekuasaannya meloloskan keluarga/kroninya meskipun tidak memenuhi syarat.

     

    Apakah Nepotisme Termasuk Tindak Pidana?

    Lantas, apakah nepotisme termasuk tindak pidana? Benar, nepotisme adalah tindak pidana sebagaimana termaktub di dalam Pasal 22 UU 28/1999. Setiap penyelenggara negara yang melakukan nepotisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

    Namun, apabila nepotisme tersebut ternyata merugikan keuangan negara atau memiliki unsur tindak pidana korupsi, maka dapat dijerat dengan pasal korupsi sebagaimana diatur di dalam UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001. Jenis-jenis korupsi dan unsur-unsur pasalnya dapat Anda simak lebih lanjut dalam artikel Bentuk-Bentuk Korupsi dan Aturannya di Indonesia.

     

    Apakah KPK Berwenang Menangani Kasus Nepotisme?

    Menjawab pertanyaan Anda apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) berwenang menyidik dan menuntut kasus nepotisme, perlu diketahui bahwa wewenang KPK adalah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.[7]

    Sepanjang penelusuran kami, pasal-pasal tindak pidana korupsi di dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 berbeda dengan pasal tindak pidana nepotisme sebagaimana termaktub di dalam Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 22 UU 28/1999. Akan tetapi, jika perbuatan nepotisme tersebut ternyata memenuhi unsur pasal-pasal tindak pidana korupsi seperti merugikan keuangan negara, maka berlaku pasal tindak pidana korupsi.

    Sehingga, jika tindakan nepotisme tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, misalnya karena terbukti merugikan keuangan negara, maka KPK berwenang untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut pelakunya.

     

    Contoh Kasus

    Contoh kasus nepotisme dapat Anda baca dalam Putusan PN Bengkulu No. 61/Pid.Sus-TPK/2016/PN. Bgl. Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa Bupati Seluma pada tahun 2011 menerbitkan Perbup 4/2011 yang telah diubah dengan Perbup 5/2011 yang dijadikan acuan pembangunan infrastruktur peningkatan jalan konstruksi hotmix dan jembatan melalui pelaksanaan pekerjaan pada tahun jamak untuk masa tahun anggaran 2011 (hal. 43 – 44).

    Pemenang lelang mengacu pada persyaratan yang ditetapkan dalam dalam peraturan bupati tersebut. Salah satu perusahaan (PT) milik anak kandung Bupati Seluma tidak memenuhi syarat sebagai pemenang jika mengacu pada Perpres 54/2010, sehingga dibentuk peraturan bupati yang memuat persyaratan yang diskriminatif dan menguntungkan kepentingan keluarga Bupati Seluma di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, meskipun tidak sesuai dengan Perpres 54/2010 (hal. 44 – 45).

    PT milik anak kandung Bupati Seluma sebagai penyedia barang dan jasa pembangunan infrastruktur dan peningkatan jalan dengan konstruksi hotmix dan jembatan, tidak mempunyai kemampuan dasar untuk melaksanakan pekerjaan. Sehingga, mengakibatkan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitas berdasarkan laporan hasil pemeriksaan fisik, sehingga merugikan negara senilai Rp4.185.750.353,37 (hal. 45 – 46).

    Atas hal tersebut, penuntut umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 (hal. 43) atau Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 5 angka 4 jo. Pasal 22 UU 28/1999 (hal. 46).

    Majelis hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu memutus terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana nepotisme berdasarkan Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 5 angka 4 jo. Pasal 22 UU 28/1999 dengan pidana penjara selama 2 tahun dan pidana denda Rp200 juta (hal. 185).

    Namun, putusan tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 2291 K/Pid.Sus/2017. MA menyatakan bahwa judex facti salah menerapkan hukum (hal. 91). Majelis hakim menolak kasasi dari terdakwa dan menerima kasasi dari penuntut umum dengan alasan bahwa perbuatan terdakwa yang melawan hukum tersebut telah merugikan keuangan negara yang signifikan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (hal. 91 – 94)

    Majelis hakim kasasi mengadili sendiri dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp500 juta, dengan ketentuan jika denda tidak dibayar maka dikenakan pidana pengganti berupa kurungan selama 8 bulan (hal. 94).

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
    2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi;
    3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

     

    Putusan:

    1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 61/Pid.Sus-TPK/2016/PN. Bgl;
    2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2291 K/Pid.Sus/2017.

     

    Referensi:

    1. Adnan Buyung Nasution (et. al). Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media dan BPP PP Muhammadiyah, 1999;
    2. Hariyanto. Priayisme dan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN): Studi Status Group di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Aspirasi Vol. 3 No. 2, Desember 2012;
    3. KBBI, yang diakses pada Rabu, 25 Oktober 2023, pukul 19.35 WIB.

    [1] Adnan Buyung Nasution (et. al). Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media dan BPP PP Muhammadiyah, 1999, hal. 34

    [2] Hariyanto. Priayisme dan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN): Studi Status Group di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Aspirasi Vol. 3 No. 2, Desember 2012, hal. 118 – 199

    [3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (“UU 28/1999”)

    [4] Pasal 5 angka 4 UU 28/1999

    [5] Hariyanto. Priayisme dan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN): Studi Status Group di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Aspirasi Vol. 3 No. 2, Desember 2012, hal. 119

    [6] Adnan Buyung Nasution (et. al). Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media dan BPP PP Muhammadiyah, 1999, hal. 28

    [7] Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    Tags

    nepotisme
    korupsi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!