Saya ingin menanyakan ketika seseorang (sebut saja A) mengeluarkan statement di depan publik (misalnya di hadapan pers dan media) dan mengakui bahwa dirinya adalah pelaku dari suatu tindak pidana, sedangkan pelaku sebenarnya (sebut saja B) adalah orang lain.
Hal ini dilakukan untuk melindungi kesalahan B sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Setelah dilakukan penyidikan, A baru mengakui kepada polisi bahwa pelaku sebenarnya adalah B. Apakah A yang berbohong di depan publik dapat dipidana? Bagaimana dengan A yang memberikan pernyataan sumpah palsu?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya, perbuatan berbohong bukan merupakan suatu tindak pidana kecuali apabila kebohongan itu dibersamakan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum misalnya dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya.
Lantas, bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi orang yang memberikan pernyataan yang tidak benar di atas sumpah?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pada 4 Desember 2013.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Berbohong sebagai Tindak Pidana Penipuan
Pada dasarnya, berkata bohong bukanlah suatu tindak pidana. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada satupun pasal dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku maupun dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, yang menyatakan bahwa seseorang yang berkata bohong dapat dijerat pidana.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Lain halnya apabila kebohongan itu dibersamakan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum misalnya dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya. Adapun tindak pidana ini dikenal dengan nama penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023 sebagai berikut:
Pasal 378 KUHP
Pasal 492 UU 1/2023
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[2]
Berdasarkan bunyi pasal penipuan di atas, terdapat beberapa unsur tindak pidana penipuan. R. Sugandhi dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya menjelaskan bahwa unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak (hal. 396-397).
Lebih lanjut menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya (hal. 261):
membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
membujuknya itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan jika si A hanya berkata bohong di hadapan pers dan media, dan perbuatannya tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.
Tindak Pidana Pernyataan Sumpah Palsu
Selanjutnya, jika A memberikan pernyataan yang tidak benar di atas sumpah, maka A dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP atau Pasal 373 UU 1/2023 sebagai berikut:
Pasal 242 KUHP
Pasal 373 UU 1/2023
Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.
Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.
Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Disamakan dengan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah janji atau pernyataan yang menguatkan yang diharuskan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang menjadi pengganti sumpah.
Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.
Dari bunyi Pasal 242 KUHP di atas, kejahatan sumpah palsu dirumuskan dalam ayat (1). Sementara ayat (2) merumuskan alasan pemberatan pidana sumpah palsu, dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1).[3]
Untuk mempersingkat jawaban, apabila tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dirinci, unsur-unsurnya adalah:[4]
Unsur objektif, terdiri dari:
dalam keadaan UU menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah;
perbuatan, yaitu memberikan keterangan di atas sumpah;
objek, yaitu keterangan palsu;
dengan lisan atau tulisan;
secara pribadi atau oleh kuasanya.
Unsur subjektif, yaitu kesalahan dengan sengaja.
Lebih lanjut, terkait pasal ini, menurut R. Soesilo, supaya pelaku dapat dihukum harus memenuhi unsur-unsur:
keterangan itu harus atas sumpah;
keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu;
keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.
Sedangkan menurut Penjelasan Pasal 373 ayat (1) UU 1/2023, ketidakbenaran dari keterangan palsu yang dimaksud dalam ketentuan ini harus diketahui oleh orang
yang memberi keterangan tersebut.
Menurut hemat kami, Pasal 242 KUHP atau Pasal 373 UU 1/2023 ini berhubungan dengan pemberian keterangan seseorang di persidangan yang memang diwajibkan menurut undang-undang, yakni saksi di persidangan. Dengan demikian, sebenarnya keterangan yang diberikan oleh A di hadapan media meskipun sifatnya palsu namun tidak dilakukan atas sumpah dan tidak memiliki keterkaitan dengan pemberian keterangan yang diwajibkan menurut undang-undang. Oleh karena itu menurut hemat kami, perbuatan A yang mengaku sebagai pelaku pidana demi melindungi B bukan merupakan tindak pidana.
Selanjutnya dalam artikel berjudul Mengurai Kebenaran di Antara Kebohongan yang Berserakan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan dikatakan bahwa untuk menerapkan Pasal 242 KUHP setidaknya harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 174 KUHAP:
Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu;
Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu;
Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini;
Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Lebih lanjut dalam artikel tersebut diketahui sebuah contoh kasus penerapan Pasal 242 ayat (1) KUHP jo. Pasal 174 KUHAP, yaitu ketika saksi mengingkari keterangannya. Kasus tersebut adalah tentang Hakim Pengadilan Negeri Makassar (tahun 1994) yang memerintahkan kepada polisi untuk menahan salah seorang saksi kasus pembunuhan terhadap satu keluarga di Makassar. Dalam kasus ini, saksi mengingkari keterangannya di depan sidang pengadilan dengan alasan ditekan secara psikis dan fisik oleh penyidik saat diperiksa.
Ternyata, setelah dikonfrontir di depan sidang pengadilan antara saksi yang mengingkari keterangannya dengan penyidik, hakim yakin bahwa penyidik tidak melakukan penyiksaan atau tekanan psikis atau fisik terhadap saksi saat diperiksa, sehingga Hakim Ketua memerintahkan polisi agar menahan saksi dan memprosesnya karena diduga melanggar Pasal 242 ayat (1) KUHP.
Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016;
R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. 1980;
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986;
[3] Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016, hal. 36-37