Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Hierarki Peradilan Indonesia
Karena berkaitan dengan perjanjian, kami asumsikan bahwa permasalahan yang sedang menjadi perhatian Anda berkaitan dengan masalah hukum perdata.
Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Putusan pengadilan tingkat pertama kemudian dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi, kecuali undang-undang menentukan lain.
[1] Sedangkan putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
[2]
Dengan demikian, dapat diringkas bahwa sistem peradilan umum di Indonesia secara hierarkis dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri adalah nomenklatur yang sering digunakan untuk menyebut institusi yang menyelenggarakan fungsi peradilan umum pada tingkat pertama.
Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap
Berdasarkan penelusuran kami, tidak ada penjelasan spesifik atas pengertian dari putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, Penjelasan Pasal 195 HIR menjelaskan bahwa:
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.
Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa putusan dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap apabila semua upaya hukum telah dilakukan atau habis. Selain itu, putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap jika waktu mengajukan upaya hukumnya telah lewat (kadaluwarsa).
Syarat Sah Perjanjian
Di sisi lain, Anda mempertanyakan mengenai keabsahan perjanjian yang memuat klausul “proses penyelesaian perselisihan menunjuk Pengadilan Negeri yang putusannya bersifat final dan mengikat”. Perlu diketahui bahwa para pihak dalam membuat suatu perjanjian diberikan kebebasan untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Asas tersebut dapat Anda temukan dalam Pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yang berbunyi:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Meskipun diberikan kebebasan, suatu perjanjian wajib memperhatikan ketentuan keabsahan perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer, yang berbunyi:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Suatu pokok persoalan tertentu;
Suatu sebab yang tidak terlarang.
Keempat syarat sah perjanjian tersebut terdiri dari syarat subjektif dan objektif. Sebagaimana diuraikan oleh Diana Kusumasari dalam artikel
Pembatalan Perjanjian yang Batal Demi Hukum, syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif. Sedangkan syarat ketiga dan keempat termasuk syarat objektif. Lebih lanjut, apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Di sisi lain, perjanjian menjadi batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat objektif.
Berfokus pada angka 4 syarat sah perjanjian, suatu sebab yang tidak terlarang (sebab yang halal) maksudnya adalah isi perjanjian itu
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak
Hukum Perjanjian.
Kesimpulan
Menyambung pertanyaan Anda, klausul yang menyatakan “proses penyelesaian perselisihan menunjuk Pengadilan Negeri yang putusannya bersifat final dan mengikat” bukan merupakan klausul yang lazim dan bertentangan dengan syarat sah perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab yang tidak terlarang (halal).
Sebagaimana telah kami uraikan sebelumnya, UU 48/2009 telah mengatur bahwa setiap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi. Putusan final dan mengikat atas sengketa yang timbul dari suatu perjanjian baru dapat diperoleh apabila jenjang banding dan kasasi telah ditempuh. Selain itu, putusan Pengadilan Negeri juga dapat menjadi bersifat final dan mengikat apabila para pihak sejak semula memilih untuk tidak melakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut.
Menurut hemat kami, adanya klausul yang bertentangan dengan UU 48/2009 menyebabkan perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, sesuai dengan Pasal 1320 angka 4 KUHPer yaitu suatu sebab yang halal. Suatu perjanjian pada dasarnya tidak dapat menetapkan sifat suatu putusan pengadilan. Sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 26 ayat (1) UU 48/2009