Saya seorang wanita, menikah dan tidak mempunyai anak. Saya berencana menghibahkan rumah dan tanah saya kepada keponakan saya agar nanti kalau terjadi sesuatu dengan saya, rumah itu jatuh ke keponakan saya. Mohon petunjuk apakah hibah bisa dilakukan dan apa saja persyaratannya? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Salam, Ibu.
Keinginan untuk melakukan hibah kepada keponakan dapat Ibu lakukan dalam waktu dekat, karena pada dasarnya, hibah merupakan pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang bergerak maupun barang tidak bergerak pada saat pemberi hibah tersebut masih hidup (Pasal 1666Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Jika tanah dan bangunan merupakan harta bersama (harta yang diperoleh pada masa pernikahan Ibu dan suami), maka harus ada surat pernyataan persetujuan suami, tergantung sertipikat tanah tersebut atas nama siapa, yang intinya menyatakan memberikan persetujuan untuk menghibahkan tanah beserta bangunan yang terletak di jalan ini dan seterusnya.
Demikian pula jika yang digunakan adalah hukum waris Islam, maka harus mendapat persetujuan dari orang-orang yang berhak mewaris berdasarkan hukum waris Islam. Karena hal ini akan mengurangi hak warisan mereka. Berdasarkan hukum waris Islam, hibah maksimal adalah 1/3 dari total harta.
Ketentuan mengenai batas pemberian wasiat yang diatur dalam Surat Al Baqarah ayat 180, dibatasi sampai dengan maksimum sebesar 1/3 dari seluruh harta peninggalan pewaris. Hal ini dijelaskan pula dalam hadist yang diriwayatkan oleh Saad bin Abi Waqash RA:
“Diperbolehkan baginya berwasiat 1/3 (sepertiga) dari hartanya dan tidak boleh lebih dari itu. Namun yang lebih utama seseorang berwasiat kurang dari sepertiga harta.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Bahkan dalam Pasal 195 ayat 2 Buku II Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga ditegaskan bahwa maksimum pemberian wasiat adalah sebesar 1/3 dari harta peninggalan pewaris. Dalam hal wasiat melebihi 1/3 dari harta warisan, sedangkan ada ahli waris lain yang berkeberatan, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan saja (Pasal 201 KHI). Batas maksimum 1/3 ini tidak hanya untuk pemberian wasiat biasa saja, melainkan juga untuk pemberian hibah, hibah wasiat dan wakaf (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
Surat pernyataan dan persetujuan untuk pemberian hibah ini sebaiknya dilegalisasi oleh notaris. Surat ini diperlukan untuk menghindari tuntutan ahli waris dari pihak Bapak/Ibu di kemudian hari (sebagai ilustrasi, jika Ibu dan Bapak beragama Islam, maka dalam harta tersebut ada hak bagian ayah dst).
Data-data yang harusIbu dan keponakan siapkan adalah:
1.data tanah dan bangunan
µAsli SPPT dan STTS lima tahun terakhir.
µAsli sertipikat tanah.
µAsli IMB.
µBukti pembayaran rekening air, listrik, telpon.
µJika tanah dan bangunan masih dibebani dengan Hak Tanggungan (hipotek), harus melampirkan pula Asli Sertipikat Hak Tanggungannya, dilengkapi dengan surat lunas dan asli surat roya dari bank terkait.
2.data pemberi dan penerima hibah
µFotokopi KTP suami/istri.
µFotokopi kartu keluarga.
µFotokopi surat nikah.
µFotokopi KTP dari keluarga yang merupakan calon ahli waris dan berhak menerima warisan (jika menggunakan hukum waris Islam).
Prosesnya, Ibu serahkan data tanah ke Notaris/PPAT di mana objek berada, PPAT akan melakukan pengecekan/checking sertipikat ke Kantor Pertanahan setempat, sambil menunggu checking selesai, penerima hibah harus melunasi pembayaran pajak penerimaan tanah dan bangunan (BPHTB), dengan rumus:
Karena hibah dilakukan kepada keponakan, maka BPHTB sama besarnya seperti jual beli biasa. Untuk lebih jelasnya lagi, uraian lengkapnya bisa dibaca di buku saya
1.Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami Hukum Waris karya Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, 2012)
2.Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami Hukum Pertanahan karya Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, 2010)